Berbuat
kesalahan bukanlah suatu akhir perjalanan hidup kita walau kesalahan itu amatlah
besar. Dalam menghadapi kesalahan tak sedikit yang putus asa, depresi bahkan
berani tuk mengakhiri hidupnya. Dari sini para pakar psikologi, filsafat dan
sosial mencari solusi untuk memecahkannya. Namun usaha mereka tebilang nihil
bahkan keadaan pun seolah semakin memprihatinkan. Maka sudah saatnya kita
selaku muslim untuk kembali pada metode yang telah dicontohkan oleh panutan dan
idola kita (Nabi Muhammad SAW) dalam menyikapi kesalahan.
Rosulullah
selalu menghadapi kesalahan dengan jiwa yang teduh dan tenang, tak jarang ia pun
menyambutnya dengan senyum. Hal ini tak terlepas dari dua hal. Pertama,
karena kasih saying (rahmah) yang sudah merasuk pada jiwanya yang suci.
“Tidaklah kami utus engkau selain sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Ia selalu
memandang orang yang salah sebagai manusia biasa dengan kemungkinan ia sedang
berada dalam keadaan terpuruk dan jatuh hingga membutuhkan orang yang
menegakkan dan menopangnya bukan orang yang mencela atau menghardiknya. Kedua,
karena ia menganggap bahwa kesalahan merupakan hal yang sangat manusiawi, dan
it bisa terjadi pada setiap orang, siapapun dia.
Beberapa
contoh “terapi” Rosul terhadap kesalahan telah dicantumkan oleh DR Rojib
Sirjani dalam bukunya Nuqtoh, Wa Min Awwalis Satr (Cukup, Mulailah lembaran
baru). Secara garis besar penulis buku ini membagi metode Rosul ini dalam tiga
poin besar; metode Rosul dalam mengahadapi kesalahan orang-orang yang tidak
tahu (jahil), mengahadapi kesalahan orang yang berdosa (mudznib) dan menghadapi
kesalahan yang mengarah pada diri Rosul sendiri.
Ketidaktahuan
(jahl), walau merupakan hal tercela yang hanya disebutkan dalam Al-Quran untuk
mencela dan menghina namun setiap manusia pasti memiliki sifat ini. Karena
sesoarng mungkin tahu hal a namun ia tidak mengtahui hal b, begitupala
sebaliknya. Akan tetapi ketidaktahuan
yang dilarang disini adalah ketidaktahuan kita terhadap hal-hal yang sudah semestinya
diketahui dalam agama.
Suatu
ketika seorang baduy datang ke masjid kemudian ia sholat. Usai sholat Rosul memintanya
untuk mengulangi sholatnya. Ia pun mengulanginya hingga tiga kali, namun
jawaban Rosul hanya satu irji’ fa sholli fainnaka lam tusholli (ulangi
kemudian sholatlah kembali karena kamu belum melaksanakan sholat). Akhirnya si
baduy menyerah dan menyatakan bahwa hanya itulah yang ia bisa. Lalu Rosul
menjelaskannya tata cara sholat yang benar.
Dari
cerita ini kita melihat bagaimana Rosul menyikapi kebodohan orang yang tidak
tahu. Beliau tidak pernah menghina atau berbuat kasar padanya. Beliau hanya
memintanya mengulangi sholat, kemudian menyampaikan pengetahuan secara tenang,
penuh kasih sayang dan sangat beradab.
Imam
Bukhori dan Muslim mencantumkan sebuah hadis dari Anas bin Malik yang
menceritakan kisah seoarang baduy yang datang ketika Rosul sedang bersama para
shahabatnya. Tiba-tiba ia (baduy) kencing di dalam masjid. Tak elak para
sahabatpun melarang dan mencegahnya. Rosul segera mengintruksikan para
shahabatnya untuk tidak memotong kencingnya dan membiarkannya hingga selesai. Akhirnya
merekapun membiarkannya hingga usai. Lalu Rosul memanggilnya dan menasehatinya
bahwa ini adalah masjid dimana seseorang tidak boleh mengencingi dan mengotorinya.
Ia merupakan tempat untuk zikir, sholat dan baca Al-Quran. Rosul hanya memerintahkan seorang sahabatnya
untuk mengambil seember air dan menyiram bekas kencing tadi.
Rosul
juga memberikan contoh pada kita bagaimana mengoreksi dan menegur kesalahan orang
yang berbuat dosa (mudznib). Perbedaaan antara pembahasaan ini dengan sebelumnya
adalah pembahasan yang lalu sang pelaku tidak tahu bahwa yang dilakukannya
adalah salah berbeda dengan pembahasan ini dimana sang pelaku mengetahui bahwa
perbuatannya salah namun ia tetap sengaja melakukannya.
Walau
adat dan agama sebenarnya tidak menyalahkan siapa saja yang menghukum orang
yang salah dengan hukuman yang setimpal bahkan ia juga mencela pelakunya karena
orang yang melakukan perbuatan ini sadar dan sudah mengetahuinya apalagi bila
ia juga ternyata mengetahui hukuman perbuatannya itu. Namun kita akan
mendapatkan pemandangan yang berbeda ketika kita memperhatikan cara Rosul
berinteraksi dengan golongan kedua ini.
Kisah
pertama diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim tentang seorang lelaki yang
menggauli istrinya pada siang hari bulan Romadhon. Rosul memberikan solusi
padanya dengan tiga alternatif; membebaskan budak, puasa dua bulan
berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Lelaki tadi ternyata
tidak menyanggupi ketiga alternatif ini. Rosul kemudian terdiam sejenak hingga
ada seseorang yang memberikan sekantung kurma. Lelaki tadi kemudian diperintah
untuk mensedekahkannya. Tanpa disangka ternyata lelaki tadi tidak mendapat
orang yang lebih miskin darinya. Serentak Rosul pun tertawa hingga terlihat
giginya kemudian ia memerintahkan pemuda tadi untuk memberi makan kurma itu
pada keluarganya.
Dari
kisah ini sangatlah tampak bagaimana Rosul menyikapi kesalahan, termasuk yang
sengaja dilakukan sang pelaku. Kita dapat menyaksikan kasih sayangnya yang
begitu besar pada umatnya. Dimana orang yang sudah jelas melakukan kesalahan besar
dengan sengaja bahkan ia juga tak mampu untuk melaksanakan hukuman yang
diberikan padanya. Namun tanpa disangka
akan terjadi happy ending dimana ia tidak mendapat balasan yang setimpal
dari kesalahannya malah mendapat nikmat yang dapat dibagikan pada keluarganya.
Sungguh engkau diutus sebagai rahmat bagai seluruh alam wahai Rosululluah SAW.
Keadilan
memang dearajat yang agung namun kasih sayang lebih besar derajatnya. Perbedaan
dua hal ini tampak dalam dua ayat Al-Quran. Pertama, Surat Fathir ayat
45, “Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka
perbuat, niscaya Dia tidak akan meninggalkan satu pun makhluk bergerak yang
bernyawa di muka bumi ini tetapi Dia menangguhkan (hukum)nya sampai waktu yang
sudah ditentukan”. Kedua, surat Asy-Syuro ayat 30, “Dan musibah apa pun
yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan
banyak (dari kesalahanmu).” Sungguh
adil kiranya bila Allah menghukum para hamba-Nya sesuai dengan perbuatan yang
telah mereka lakukan namun kasih sayang-Nya ternyata lebih besar kepada mereka.
Dari
sini muncul sebuah pertanyaan, mengapa kita merajam (melempari batu hingga
meninggal) orang yang berbuat zina dan ia sudah menikah. Mengapa juga dipotong
tangan sang pencuri, dan dibunuh orang yang membunuh oang lain? Bukankah sutau
bentuk kasih sayang jika kita memaafkan mereka!
Sebenarnya
ada poin penting yang harus diperhatikan dan kesalahan ini sering terjadi pada
sebagian orang. Dimana mereka memandang para pelaku kejahatan dengan kacamata
kasih sayang namun mereka tidak melakukan itu pada masyarakat yang menjadi
imbas dan korban kejahatan itu. Had (hukuman) sebenarnya disyariatkan
sebagai wujud kasih sayang kepada masyarakat, juga terhadap pelaku kejahatan
itu sendiri karena ia bisa menjadi sarana penghapus dosa hingga akan
memudahkannya pada hari kiamat.
Manusia
mungkin dapat menasehati orang untuk
dapat memaafkan dan berlapang dada namun bila ada seseorang yang mulai
menyentuh kehormatan dirinya tak jarang mereka akan terlihat sangat marah dan
emosi. Pada poin ketiga inilah penulis melontarkan metode Rosul dalam
mengahadapi kesalahan yang berkaitan dengan diri Rosul sendiri.
Bunda
Aisyah pernah menggambarkan bahwa nabi tak pernah membalas siapa pun yang
meremehkan dirinya namun bila sudah berhubungan dengan hak dan kehormatan Allah
tak segan-segan ia segera membalasnya itupun karena ketulusannya pada Allah.
Dan ini akan banyak kita dapatkan bila kita membaca sejarah hidup beliau yang
luar biasa.
Umar
pernah marah dan “menggerutu” terhadap apa yang terjadi pada rumah tangga Rosul
dengan istri-istrinya dimana mereka -kadang- menjawab perkataan rosul,
mendiamkannya akan tetapi rosul tetap sabar terhadap mereka. Hal ini
menunjukkan kasih sayang beliau yang luar biasa pada keluarga khususnya para
istri.
Begitupula
Rosul selalu bersabar dan sayang terhadap para sahabatnya. Pernah mereka
“kecewa” dengan keputusan Rosul pada perjanjian Hudaibiyah dimana mereka
memandang perjanjian itu sangat tidak menguntungkan kaum muslimin hingga mereka
“memboikot” –secara kebetulan- untuk tidak bertahallul (memotong rambut
karena mereka telah berihram). Namun Rosul tidak pernah mengungkit-ungkit dan
memendam masalah ini hingga akhirnya beliau bertahallul sendiri kemudian
diikuti sebagian sahabat dan pada akhirnya mereka semua bertahallul.
Tak
cukup sampai disana. Ternyata Umar yang masih penasaran bertanya dan “mendebat”
Rosul atas kebijakan yang dinilainya tidak berpihak pada umat Islam. Setelah
mendengar jawaban Rosul ternyata Umar tak juga merasa puas. Seolah belum
menemukan titik terang Umar pun mengulangi pertanayaan yang sama kepada Abu
Bakr. Namun secara kebetulan jawaban Abu Bakr persis dengan jawaban Rosul.
Walau bagaimanapun ternyata Rosul tidak pernah mempermaslakan ini semua dan tak
pernah mengungkit-ungkitnya.
Kita
terbiasa memberi penghrgaan dan hadiah bagi mereka yang melakukan kebaikan dan
hukuman dan sangsi bagi pelaku kejahatahan. Padahal sebenarnya tidak semua
perkara dapat dihukumi dengan satu timbangan. Terkadang kesalahan dapat diobati
dengan senyum, arahan, nasehat dan
pengajaran sebelum kita benar-benar memberikan hukuman atau kekerasan. Islam
itu mudah kenapa kita tidak menempuh jalan yang mudah untuk merubah semuanya.
Wallaahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar