“Mungkin
dia diringkus kawanan polisi karena masih berada di luar rumah pada waktu
terlarang (hadut at-tajawul). Atau tertembak mati bersama para demonstran
lainnya, atau mungkin tertindih –tindih saat unjuk rasa menuntut turunnya
Presiden dictator Mesir.” Seperti inilah kiranya ku menerka keberadaan wanita
yang selalu ku nanti tiap harinya.
Lebih
dari tiga bulan setelah demonstrasi besar-besaran penurunan rezim diktator
Mesir -Husni Mubarok- ku tak menemukan wanita itu. Rindu rasanya ku melihat
senyum manisnya. Senyum yang dapat memberi semangat dan kesejukan dalam diriku.
Tak heran kawan, senyum yang berasal dari hati pasti akan merasuk pada hati
pula, bukankah begitu!
Memasuki bulan keempat
setelah reformasi besar-besaran akhirnya ku temukan kembali wajah “ayu” itu.
Gembira tak terkira rasanya. Walau tak dapat berbuat banyak namun paling tidak
hatiku tenang ternyata wanita yang lama ku nanti itu hadir kembali. Sungguh
berartinya wanita itu bagi diriku. Tempat beradu risau dan galau. Berbagi duka
dan gembira. Ia termasuk my special one.
Bagiku wanita ini
bukanlah wanita biasa, dia wanita super kawan. Wajahnya tak asing bagi para
pemburu koran dan majalah di sekitar masjid Al-Azhar dan sekitarnya.
Rutinitasnya memang tak lebih dari penjaja koran dan majalah di jalan raya
al-Azhar. Walau demikian namun kekagumanku padanya tak pernah pudar.
Tiap hari dia sudah stand
by di lapak jualannya. Sebelum azan subuh berkumandang dia mulai
menyusun dan membereskan barang dagangannya. Ketika para penduduk Kairo bahkan
Mesir masih terlelap dalam tidurnya dia sudah meninggalkan kasurnya bahkan
rumahnya yang tidak tahu berapa jauh jaraknya dari Al-Azhar. Mungkin bagi anda,
tak ada yang istimewa dari kegiatannya ini namun bagi pribumi atau mereka yang
pernah berada di Mesir akan dapat merasakan betapa sulitnya meniggalkan selimut
pada musim dingin atau memulai aktifitas setelah semalam suntuk begadang di
musim panas.
Hari-harinya dilalui di
bawah terik matahari hingga terbenamnya matahari bahkan menjelang isya. Bisa
anda bayangkan kawan, bagaimana ia berada di bawah terik matahari yang mencapai
40 celcius bahkan lebih di musim panas. Atau bagaimana pula rasanya bertahan
dari dinginnya musim dingin yang menusuk tulang-tulang. Tak pernah terlihat
wajah pemalas dan memohon belas kasih darinya. Ia hanya tersenyum manis tatkala
sepi pengunjung, dan selalu ku balas dengan canda dan guyonan.
Inilah yang membuatku
kagum padanya, jiwa yang tak pernah menyerah. Berbanding terbalik dengan
pemandangan disampingnya. Seoarang pemuda yang hanya bertahan hidup dari belas
kasih orang. Seolah menyerah dengan keadaan dan kejamnya kota Kairo. Tepat di
ujung lorong bawah tanah (nafaq) lelaki itu selalu meminta dan menengadahkan
tangan.
Sungguh miris rasanya,
seorang wanita yang sudah sepuh masih terus berjuang dan berjibaku dengan
teriknya matahari dan dinginnya musim dingin sedangkan di sisi lain seorang pemuda
hanya dapat duduk sila sambil melantunkan” jurus” andalannya dua ayat surat
ad-Dhuha, “maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku
sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau
menghardiknya”. Seakan ia melegitimasi perbuatannya ini dengan kedua ayat
tadi.
Ku akui pemuda ini amat
perhatian terhadap sholatny. Bila tiba waktu sholat ia segera menunaikannya
bersama jamaah lainnya. usai solat aku mengantarnya seraya menanyakan arah
tujuannya (sambil berpura-pura tak tahu). Ia hanya meminta untuk diantar kearah
lorong yang ada dekat masjid al-Azhar. Sambil bercanda aku pun bertanya mengapa
harus membaca Quran di sana, awalnya ia berkelit ini dan itu namun akhirnya ia
mengakui bahwa itulah propfesinya dan mata pencahariannya. Dunia memang sudah
terbalik, seorang wanita renta selalu berjuang dengan cuaca namun pemuda yang
masih bugar terpaksa menyerah dan pasrah.
Hingga hari ini wanita
yang berumur lebih dari 60 tahun itu masih belum menunjukkan batang hidungnya.
Terakhir kali ku lihat pada akhir ujian term dua kemarin. Bahkan ia juga turut
andil dan selalu memberi semangat dengan doanya yang tulus. Bahkan tak lupa ia
sisipkan senyum ikhlas pada ujung bibirnya seolah berkata semoga sukses ya nak,
mudah-mudahan kau dapat menjadi duta harapan bangsamu. Ya Robb, mudah-mudahan
ketulusan doanya inilah yang akan menghantarkanku pada kesuksesan ujian kali
ini.
Rindu rasanya ku tertawa
ria bersamanya. Ingin kembali ku minta senyum ramah dan doa tulusnya. Namun
entah sampai kapan ia kan sirna. Terakhir kali bertemu ia hanya mengeluh bahwa
tulangnya sakit, sama seperti setahun lalu saat ia tak dapat berjualan.
Penyakit yang sama kawan. Mudah-mudahan doa tulusku ini dapat menjadi obat
penyakitmu bunda. Ku tunggu kehadiranmu di depan masjid al-Azhar.
Istana Rindu-Lembah
Juang Kairo, 15 Juli 2012
lagi sakit bro,,heheh
BalasHapusane juga mau nulis tentang beliau, ente dh nulis duluan., :D
gimana klo kita cari rumahnya yuk. kita sedekah