Assalamu'alaikum

Labels

Minggu, 25 September 2011

Permasalahan Palestina Dalam Sejarah Modern Sampai Perang Dunia Pertama



• Latar belakang munculnya Permasalahan Palestina dalam sejarah modern

Yahudi telah kehilangan hubungan dengan Palestina secara praktek langsung lebih dari 1800 tahun, yang ada hanya emosional keagamaan yang mereka yakini bahwa mereka sedang menunggu Juru selamat “Al Masih”. Ketika itulah mereka dapat menduduki Palestina, hidup bahagia dan menegekkan eksistensi mereka di sana.

Beberapa perubahan penting terjadi dalam sejarah Eropa modern, hal ini menyebabkan perubahan peran yahudi dan timbulnya proyek zionis. Maka sejak abad 16 munculah gerakan Protestan yang memfokuskan pada keimanan terhadap perjanjian lama (“Taurat”) yang menyatakan bahwa mereka adalah penduduk Palestina yang bertebaran di muka bumi dan nanti akan dikumpulkan di Palestina dengan datangnya Sang Juru Selamat.


Kebanyakan pengikut protestan adalah penduduk Inggris, Amerika Serikat, Belanda dan hampir setengah penduduk Jerman. Darisini muncullah gerakan zionis non yahudi khususnya ditengah-tengah kelompok protestan yang mendukung proyek zionis berdasarkan persamaan latar belakang agama.

Di sisi lain, ternyata Eropa mengalami perubahan politik khususnya pada abad 19, sejak terjadinya revolusi Prancis terhadap hukum monarki pada tahun 1789 hingga terbentuklah negara Eropa modern dan tersebarnya paham nasionalisme dan sekularisme. Yahudipun mendapat kebebasan dan diberikan hak warga negera khususnya di Eropa barat hingga dengan mudah mereka dapat menghancurkan masyarakat dan aturan di sana, mereka juga dapat mengambil kendali politik, ekonomi, media dan sosial.

Keadaan terbalik terjadi di Rusia dan Eropa timur padahal di sana terdapat mayoritas yahudi. Terjadi intervensi yahudi yang bersifat radikal, keras dan “teroris”, ditambah lagi dengan adanya kebanyakan warga yahudi yang ikutserta dalam gerakan revolusi kiri yang melawan pemerintah hingga terbunuhnya Kaisar Aleksander II pada 1881 dan adanya spekulasi bahwa yahudilah dibalik semua itu. Darisini muncullah gerakan anti-semitism (permusuhan terhadap yahudi) yang menyebabkan tumbuhnya permasalahan yahudi hingga memaksa jutaan yahudi di Rusia untuk dapat memecahkan permasalahan mereka dan “hengkang” ke Eropa barat, Amerika utara dan selatan. Hal ini sekaligus menjadi kesemapatan mereka untuk menjadikan Palestina sebagai tempat pelarian mereka, ditambah lagi adanya dukungan dari Eropa dan Amerika karena persamaan agama juga agar mereka selamat dari “bencana” yahudi.

Kelamahan daulah Usmaniyah -dimana Palestina berada di bawah kekuasaannya- dan usaha negara barat untuk membagi-bagi tanah Islatum membuat proyek zionis semakin lancar. Ditandai dengan adanya perjanjian London (1905-1907) berupa rencana pendirian negara pembatas (Al-Daulah al-Hajizah) di daerah Palestina, para peserta muktamar mengusulkan kepada Perdana Mentri Inggris waktu itu Cambel Bannerman untuk membangun suatu tempat sekiranya ia dapat menjadi pemabatas yang kuat di sebelah timur laut tengah dan menjadi sebuah kekuatan yang dapat memusuhi penduduk daerah itu dan sekutu terhadap negara-negara Eropa dan menjadi sandaran mereka. Dan yahudi adalah dalang dibalik semua ini.

Proyek barat dalam membangun negara pemisah bertujuan untuk menanamkan sebuah daerah asing di tengah-tengah dunia Islam dan memisahkan Asia dan Afrika, menghalangi persatuan dan tumbuhnya peradaban yang kuat di daerah ini. Umat Islam akan terus menerus dirundung masalah hingga menguras tenaga dan usahanya, terus menerus dalam keterpurukan, kelemahan dan perpecahan. Darisanalah terjadi perjanjian erat antara yahudi zionis dengan barat salibis. Darisini pula terlihat betapa proyek ini bukan hanya ditujukan bagi Palestina saja namun bagi seluruh umat Islam.

Orang barat selalu berada dibawah selama berabad-abad. Dengan melemhnya Daulah Usmaniyah khusunya pada abad 19 dan permulaan abad 20 membuat orang-orang Eropa berfikir agar negara Islam tak dapat tegak dan berkembang kembali, rencana ini dilakukan dengan mendirikan negara pembatas (Al-Daulah al-Hajizah) di daerah Palestina.

• Perkembangan Politik Masalah Pelastina hingga tahin 1914

Revolusi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 menunjukkan betapa lemahnya Daulah Usmaniyah hingga membuat para penjajah Eropa berkeinginan untuk membagi daerah kekuasaan. Walau revolusi Napoleon gagal menembus perbatasan kota Oka (Palestina) tahun 1799 namun dia menjadi pemimpin politik Eropa pertama yang mengeluarkan seruan secara resmi kepada yahudi untuk mewujudkan impian mereka dan menegakkan daeraj mereka di Palestina, ia menyerukannya pada 20 April 1799 ditengah-tengah pengepungan kota Oka.

Kepentingan khusus terhadap Mesir dan Syam tak luput dari pandangan Inggris sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia. Iapun membuka konsulnya di Palestina tahun 1838 yang meminta pada Palestina untuk memberi pengamanan pada yahudi baik warga Inggris atau bukan. Selanjutnya konsul ini menjadi tempat untuk mendukung kepentingan yahudi hingga berkecamuknya perang dunia pertama tahun 1914. Ketika Inggris dapat menguasai Qibris tahun 1878 dan Mesir tahun 1882 maka ia menjadi satu-satunya negara penjajah yang memiliki kekuasaan di daerah timur laut tengah. Inggris memandang Palestina sebagai sebuah persaingan daerah jajahan karena kebutahannya untuk mengamankan terusan Suez sebagai jalur perjalanan kendaraan Inggris khususnya ke India.

Seruan yang dikemukakan oleh yahudi dan zionis non-yahudi untuk kembali ke Palestina tidak hanya pada abad 19 tapi sudah muncul sejak awal abad 16 namun ia bukan berupa praktek politik. Dimulai dengan terbitnya sebuah buku yang dikarang oleh pengacara Inggris Henri Finch tahun 1621 dengan judul “kebangkitan dunia besar dan seruan yahudi”, begitupula muncul tulisan-tulisan dan seruan-seruan dari orang nasrani seperti Isac Newton, John Jack Rowso, Bresteli dan lain lain. Akan tetapi kedatangan yahudi hanya terkait perasaan agama dan adat dalam menzaiarahi beberapa tempat yang dianggap suci, tak terlihat agenda politik secara terbuka. Penduduk yahudi di Palestina tahun 1799 sekitar 5000 dan tahun 1867 sudah mencapai 13920 yahudi.

Imigasi yahudi terlihat lebih gencar sejak tahun 1882 dengan semakin meningkatnya permasalahan yahudi di Rusia, namun Daulah Usmaniyah melakukan beberapa prosedur agar dapat melarang mereka untuk tinggal di Palestina hingga mereka lebih banyak yang migarsi ke Eropa barat dan Amerika selatan.

Theodore Herzl menggelar kongres Zionis sedunia di Basel Swiss. Peserta Kongres I Zionis mengeluarkan resolusi, bahwa umat Yahudi tidaklah sekedar umat beragama, namun adalah bangsa dengan tekad bulat untuk hidup secara berbangsa dan bernegara. Dalam resolusi itu, kaum zionis menuntut tanah air bagi umat Yahudi – walaupun secara rahasia – pada “tanah yang bersejarah bagi mereka”. Sebelumnya Inggris hampir menjanjikan tanah protektorat Uganda atau di Amerika Latin ! Di kongres itu, Herzl menyebut, Zionisme adalah jawaban bagi “diskriminasi dan penindasan” atas umat Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun. Pergerakan ini mengenang kembali bahwa nasib umat Yahudi hanya bisa diselesaikan di tangan umat Yahudi sendiri. Di depan kongres, Herzl berkata, “Dalam 50 tahun akan ada negara Yahudi !” Apa yang direncanakan Herzl menjadi kenyataan pada tahun 1948.

Sultan Abdul Hamid II menolak negoisasi yahudi hingga membuat mereka bekerjasama pada jam’iyah turki al fatah dan lajnatul itthad wa taraqi untuk menurunkan Sultan Hamid II. Anak-anak Palestina juga memiliki gerakan dalam menghadapi proyek zionis. Bentrok senjata pertama terjadi antara petani Palestina dan penduduk zionis tahun 1886. Ada upaya dari media yang menjelaskan bahaya zionis seperti koran Karmal dan Palestin. Diikuti beberapa tokoh lain seperti Rasyid Rido melalui majalah al-Manar, Yusuf Diya, Sulaiman al-Taji, Is’af an-Nasyayibi dll.

• Permasalahan Palestina dalam Perang Dunia I 1914-1918

Jumlah penduduk yahudi di Palestina pada awal perang dunia I sekitar 80 ribu dan menurun menjadi 55 ribu di akhir peperangan dengan adanya tekanan dari Daulah Usmaniyah.

Perang dunia I menimbulkan kekacauan bagi seluruh penduduk bumi, di sisi lain iapun menjadi ajang aji mumpung untuk bisa mengambil kesempatan emas sesudahnya. Meski yahudi masih terpencar-pencar namun Weizmann dapat mengatur dan mengkoordinir yahudi dari pusat kediamannya di Inggris. Dan Inggris berusaha melancarkan usahanya dari tiga arah:
1. Negoisasi dengan Husein bin Ali (pemimpin Hijaz) dengan mendorongnya agar dapat mengobarkan revolusi Arab terhadap pemerintahan Usmaniyah dengan imbalan pembebasan sebagian besar daerah Arab, Irak dan Syam di bawah kekuasannya.

2. Negoisasi dengan Prancis tentang pemabagian kekusaan daerah Syam dan Irak hingga terjadilah kesepakatan Sykes-Picot pada Mei 1916 dengan memberikan Inggris sebagian besar Irak, Yordania timur, daerah Hefa di Palestina, adapun Libanon dan Suria berada di bawah penjajahan Prancis. Melihat keinginan seluruh pihak untuk menjajah Palestina maka disepakati bahwa ia berada di bawah pengawasan dunia.

3. Negoisasi dengan organisasi zionis dunia tentang masa depan Palestina. Latar belakang yang mendorong mereka adalah kebutuhan mereka yang teramat penting untuk menggunakan peengaruh yahudi di Amerika Serikat agar mendorongnya untuk ikut bergabung dengan Inggris dan sekutu-sekutunya pada perang dunia I, ditambah karena adanya penagaruh zoinis yahudi di Inggris dan di dalam pemerintahannya melalui Mentri Dalam Negrinya yang zionis yahudi (Harbert Samuel), juga orang-orang nasrani zionis seperti Perdana Mentri Luid George dan Mentri Luar Negri Balfour.

Bermula dari sini dan bebrapa faktor dan latar belakang agama, pilitik dan strategi maka lahirlah perjanjian Balfour pada 2 November 1917 yang berisi bahwa Inggris berjanji mendirikan negara sendiri bagi yahudi di Palestina. Perjanjian ini menjadi perjanjian teraneh dalam hidup manusia, bagaimana bisa memberikan tanah yang tidak dimiliki kepada orang-orang tidak berhak untuk memilikinya.

Setelah tersebarnya perjanjian ini terjadi demonstrasi bangsa Arab secara besar-besaran, mereka tidak habis fikir tipu muslihat Inggris, pasukan demonstrasi Arab mengancam mogok sebelum diberikan klaririfikasi. Akhirnya Inggris mengirim salah seorang utusannya (Hogarth) pada Januari 1918 untuk menenangkan Syarif Hasan dengan membawa surat yang berisi bahwa imigrasi penduduk yahudi ke Palestina tidak bertentangan dengan kebaikan warga Palestina baik dari segi politik ataupun ekonomi. Inggris juga memberi surat kepada pemimpin di Suria yang berisi bahwa tanah yang ditempati oleh Inggris akan diatur sesuai dengan keinginan warga Palestina ditambah dengan adanya kesepakatan untuk membebaskan daerah-daerah yang masih berada di bawah kekusaan Daulah Usmaniyah (Palestina utara, Yordania timur, Suria, Libanon dan Irak utara). Wallahu wa Rasuluhu ‘alam…

* Makalah ini dipresentasikan pada kajian mingguan kader SINAI 2011 di Markaz SINAI Kairo (Bawanah Ula Madinatun Nasr Cairo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu