Assalamu'alaikum

Labels

Jumat, 17 September 2010

Open House, Sunat atau Siasat ?


Suasana lebaran masih menyelimuti kita, perayaan kemenangan masih hangat kita rasakan. Semua merasa gembira dan senang menyambut hari nan fitri itu. Mulai anak kecil, dewasa hingga orang lanjut usia. Sebuah perayaan kemenangan setelah perjuangan penuh di bulan Ramadhan.

Banyak hal yang dilakukan masyarakat dalam melewati hari fitri ini. Mulai yang masih bernilai ibadah atau hanya sekedar hura-hura belaka, bermaafan, rekreasi, ziarah serta open house sudah menjadi kegiatan rutin setiap lebaran. Pada kesempatan kali ini penulis mencoba menguraikan kebiasaan teakhir di atas.

Menurut arti dasar Open House berasal dari dua kata, Open yang berarti membuka dan House yang berarti rumah, jadi secara garis besar Open House dapat disebut sebagai silturahmi terbuka yang digelar seseorang dengan masyarakat. Kini ia seolah sudah menjadi tradisi masyarakat dalam menyambut hari-hari besar, termasuk hari raya 'idul fitri. Dalam kacamata Islam kata Open House dapat dikategorikan dalam bab takrim al-dhaif (meghormati tamu) atau silaturahmi. Banyak hadis dan ayat Al Qur'an yang menganjurkan kita untuk bersilaturahmi dan menghormati tamu. Bahkan ternyata kebiasaan baik ini bukan hanya kebiasaan Nabi Muhammad saja tapi merupakan sudah menjadi kebiasaan turun temurun dari Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as hingga Umat Islam sekarang. "Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal ."Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, Kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: "Silahkan anda makan." (QS.Al Dzariat [51]: 24-27). Serta firman Allah dalam surat Hud ayat 78, "Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji [homoseksual]. Luth berkata: "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih Suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?".



Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadus Shalihin membuat sebuah bab Ikramu al-Dhaif (menghormati tamu) lalu mencantumkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, "Man kana yu'minu billahi wal yaumil akhir falyukrim dhaifahu, wa man kana yu'minu billahi wal yaumil akhir falyasil rahimahu, wa man kana yu'minu billahi wal yaumil akhir falyaqul khairan au liyashmut". Dari hadis di atas kita dapat mengambil kesimpulan dasar bahwa menghormati tamu dan bersilaturahmi termasuk dalam kriteria sempurnanya iman seorang Muslim. Tak cukup menghormati, bahkan dalam beberapa riwayat lain ditambahkan wa jaizatahu, yang berarti sebuah kewajiban untuk memenuhi kebutuhan logistiknya juga selama ia masih bertamu.

Selain menjadi syarat kesempurnaan iman seorang Muslim ternyata Open House -bila dilihat dari sisi silaturahmi- bisa menjadi perantara untuk memperluas rizki, serta memperpanjang umur, sebagaimana keterangan sebuah hadis dari Abu Hurairoh ra, ia berkata bahwa Rosulullah SAW pernah bersabda : "Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia bersilaturahmi".

Rasulullahpun tidak hanya menganjurkan untuk bersilaturahmi dan menjalin hubungan antar sesama, bahkan Beliau mengancam tidak akan masuk surga orang-orang yang memutus hubungan sesamanya, sebagaimana yang tertulis dalan kitab Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, " Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan sesamanya".

Rasulullah SAW telah memberikan contoh teladan kepada para UmatNya. Beliau tidak pernah menolak siapapun yang ingin bersilaturahmi dan bertamu kerumahNya, bahkan Ia selalu menyuguhkan para tamu apa yang bisa Beliau berikan pada mereka, walau terkadang Beliau sendiripun tidak mempunyai bekal makanan yang cukup untuk hari itu. Hal inipun diikuti oleh anak, menantu dan para sahabatNya. Mereka yang tumbuh dibawah tarbiyah (didikan) Nabi selalu mengutamakan orang lain, hal ini terlihat jelas pada peristiwa Hijrah dari Mekah ke Madinah, dimana para kaum Anshar sangat antusias menyambut saudara dan tamu mereka (kaum Muhajirin).

Sejarahpun banyak mencatat bagaimana para Sahabat dapat datang dengan leluasa menemui Rasulullah SAW. Tanpa proses panjang, pengawalan ketat dan pemeriksaan keamanan, mereka dengan tenang bisa bertemu Roslullah kapanpun mereka butuh. Kebiasaan inipun dilanjutkan para Khulafa’ur Rashidun setelahNya. Walau dengan keadaan dan status mereka selaku pemimpin Umat saat itu tapi kerendahan hati dan kelapangan dada mereka tidak menghalangi mereka untuk menerima para tamu dan bersilaturahmi dengan sesama. Bahkan tak sedikit masyarakat Non-Muslim yang masuk Islam melihat kesederhanaan dan kerendahan hati para pemimpin ini.

Pernah suatu ketika seorang Yahudi datang mencari Umar bin Khattab selaku Khalifah saat itu, ia sengaja datang dari Mesir ke Madinah ingin mengadu dan melaporkan kinerja Guberbur Islam di Mesir yang menurutya kurang baik dan telah berbuat dzhalim. Ia agak terheran karena tak mendapati rumah dan bangunan mewah layaknya tempat tinggal seorang Khalifah. Akhirnya ia menemukan Sang Khalifah sedang berteduh di bawah pohon kurma. Keheranan dan kekagumannya semakin bertambah tatkala mengetahui bahwa itu adalah rumah Sang Khalifah, apalagi ia dapat dengan leluasa bertemu dengannya tanpa harus melewati barisan prajurit keamanan. Ia akhirnya mengurungkan niat untuk mengadu dan mengumumkan keislamannya di depan Sang Khalifah.

Open House ternyata masih terus diamalkan Umat Muslim hingga saat ini, khususnya pada moment besar termasuk lebaran. Tapi nampaknya Open House yang telah diajarkan oleh kanjeng Nabi telah berubah haluan, yang awalnya sebuah moment untuk dapat merajut dan menyambung hubungan, kini telah menjadi lahan untuk pencitraan diri dan kepentingan pribadi atau golongan.

Sekarang, ketika mendengar kata Open House seolah terlintas dalam benak kita bahwa ia adalah sebuah seremonial yang dilakukan oleh para petinggi dan berjabatan. Seakan karena kesibukan dan kepadatan jam kerja hingga membuat mereka tak dapat meluangkan waktu untuk dapat bersilturahmi dan menerima para tamu. Padahal bila kita flash back pada masa kekhilafahan Islam, Rasulullah SAW dan Khulfa’ur Rasyidin selalu siap menerima dan mendengarkan keluhan dan curahan hati masyarakat.

Tapi anehnya, sekarang banyak kita saksikan para elit politik ramai mengadakan Open House, mulai dari tingkat bawah hingga Presiden. Partai politikpun tak mau kalah, mereka beramai-ramai mengadakan Open House baik sesama elit politik atau masyarakat. Seakan lebaran memang moment yang sangat tepat untuk menjalankan misi tersembunyi mereka. Ia semakin terasa aneh ketika dibumbuhi adanya imbalan atau iming-iming lain. Lebih mengenaskan lagi bila ia harus memakan korban jiwa karena masyarakat harus rela antri dan bersesakan. Belum lagi publikasi besar-besaran pada masyarakat dan pihak-pihak terkait, seakan membuat vitalitas Open Housepun sirna, yang asalnya untuk menjalin hubungan dan media silturahmi sesama, kini benar-benar nampak hanya diprioritaskan untuk pembangunan citra dan agenda politik belaka.

Bila menoleh sesaat silaturahmi sesama elit politik, ternyata ia dapat melahirkan beragam makna yang bisa jadi saling kontradiktif. Di satu sisi, silaturahmi politik bisa jadi dipahami sebagai bentuk kedewasaan berpolitik, bahwa riak dan konflik dalam berpolitik tidaklah kemudian membuat hubungan personal antar aktor politik menjadi berjarak. Di sisi lain, silaturahmi politik masih dimaknai secara artifisial. Sehingga makna subtantif ingin membangun ukhuwah Islamiyah dalam bingkai Idul Fitri menjadi luntur dan distortif. Elit politik hanya memanfaatkan momentum Lebaran sebagai kendaraan politik untuk merengkuh kekuasaan saja.Tradisi open house cenderung dipergunakan untuk membangun citra elit dibandingkan membangun komunikasi politik yang efektif bagi penyerapan aspirasi.
Jangan sampai silaturahmi hanya sebatas ‘simbol’ untuk memenuhi agenda rutin tahunan menyambut Idul Fitri, sehingga sang pejabat atau elit politik merasa ‘tidak enak’ dan tak lengkap rasanya apabila tidak menggelar open house. Lebih konyol lagi, apabila silaturahmi Lebaran digunakan untuk kepentingan deal politik. Apalagi, pihak Partai penguasa mengulirkan desas-desus akan dilakukan reshuffle kabinet oleh Presiden. Tentunya, elit partai politik akan mendekati pihak penguasa untuk tetap meminta tidak menghilangkan kavling kursi menteri di kabinet.
Memang, politik adalah siasat untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan halal bihalal adalah saling bermaafan di hari Lebaran. Oleh karena itu, silaturahmi harus diwujudukan sebagai halal bihalal. Silaturahmi dalam suasana bulan Syawal ini hendaknya dimanfaatkan sebagai silaturahmi ‘beneran’ yakni benar-benar mengakhiri segala perbuatan politik busuk dengan berjanji akan melakukan politik bermoral ke depannya, sebagaimana silaturahmi yang diajarkan Baginda Nabi, hingga hasilnya dapat menumbuhkan kecintaan dan kerukunan. Bukan Silaturahmi politik di saat Lebaran dengan memafaatkan momentum ini sebagai politik dagang sapi alias tawar menawar antara beberapa partai politik dalam menyusun suatu kabinet koalisi dan sebagainya. Juga bukan sebagai silaturahmi pencitraan yang hanya terjadi musiman, lebaran. Tetapi benar-benar mewujudkan silaturahmi yang sebenarnya untuk dapat berbagi cerita dan cinta sesama masyarakat.
Maka, kalau ada silaturahmi antar elit politik dan elit kekuasaan, mestinya dijadikan momentum untuk membangun kesadaran di hari yang fitrah. Yakni, sadar untuk tidak melakukan penyelewengan (abuse of power), sadar tidak korupsi lagi, sadar menjalankan amanat rakyat, serta sadar menjadi politisi bermoral, dan bukan politisi hitam atau politisi busuk. Adapun bila ia dilakukan antar penguasa dan masyarakat hendaknya ia bukan hanya sebatas simbol kepedulian dan ajang pencitraan, tapi lebih pada kesadaran diri untuk dapat lebih banyak berkumpul, mendengar dan benar-benar merasakan apa yang sebenarnya masyarakat rasakan.

Wallahu waRasulHu ‘alam..

Lembah Juang Cairo, Subuh 16 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu