Assalamu'alaikum

Labels

Sabtu, 11 September 2010

Ketupat Mesir


Malam itu dunia dipenuhi gema Takbir, Tahlil dan Tahmid. Para umat Muslim di seluruh pelosok dunia sangat bersemangat mengumandangkan ketiga lafadz mulia ini. Wajar kiranya, karena mereka telah melewati suatu perjuangan dan pertempuran panjang selama satu bulan penuh. Sebagai bentuk rasa syukur atas kemenangan mereka di bulan Ramadhan mereka berlomba-lomba menyambut hari nan fitri, bersih dari dosa layaknya bayi yang baru dilahirkan ibunya.

Tapi malam itu tak serasa malam ‘iedul Fitri biasanya, pasalnya suasana kali ini terbilang sepi sunyi. Ya, seperti itulah kiranya malam ‘Iedul Fitri (lebaran) di Mesir. Masyarakat di sana tak terlalu antusias melalui malam kemenangan ini, berbeda jauh dengan antusias masyarakat di Indonesia yang sangat bersemangat dan bergembira. Tak ada bedug-bedug ditabuh, gema Takbir, Tahmid dan Tahlilpun tak terdengar. Semua laksana malam-malam biasa. Selain lebaran ini disebut lebaran kecil (‘Iedus Shogir) –karena biasanya mereka lebih antusias dengan ‘Iedul Adha hingga mereka menyebutnya ‘iedul Akbar- ternyata memang mereka lebih merasa sedih dengan berlalunya bulan Ramadahan dibanding kegembiraan dengan datangnya hari nan fitri ini.



Para pelajar Indonesia ternyata memiliki kebiasaan yang berbeda dengan orang Mesir. Kebiasaan takbiran dari Tanah Air memang tak dapat dilupakan begitu saja, biasanya PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Mesir) mengadakan takbiran bareng di kampung sepuluh (hay ‘ashir) atau di sebuah tempat yang telah mereka sewa. Sayangnya takbiran di Mesir tidak sebebas di Indonesia karena kami hanya bisa mengumandangkan takbir di sekitar kawasan tempat takbiran. Kondisi keamanan menjadi alasan tidak diperbolehkannya takbiran keliling, sebab security Mesir sangat mengantisipasi adanya kumpulan atau gerombolan orang yang beraktivitas di malam hari.teradang kegiatan takbiran dimeriahkan dengan diadakannya perlombaan takbir antar pelajar ASEAN, karena adat dan istiadat kita memang tidak terlalu jauh berbeda.

Untungnya malam itu mempunyai sedikit kesan berbeda dibanding malam lebaran tahun sebelumnya, karena kami melakukan beberapa ritual berbeda dalam menyambut hari lebaran. Syekh di tempat kami I’tikaf mengajak para jama’ah untuk mengadakan Shalat Tasbih dan Qiyamul lail sebagai bentuk Ihyaul lailatil ‘ied (menghidupkan malam lebaran). Beliau berpendapat bahwa kegiatan ini adalah sunnah (kebiasaan) yang telah ditinggalkan oleh umat Islam sekarang, padahal kegiatan ini sudah dilakukan oleh para pendahulu kita dan bukanlah merupakan sebuah kegiatan bid’ah(mengada-ada). Pendapat beliau merujuk pada kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi serta sebuah hadis dari Imam Nasa’ai yang berbunyi; “Man ahya lailatal ‘ied ahya Allahu qalbahu yauma yamutul qulub”. Walaupun sanad hadis ini lemah tetapi kandungannya telah dikerjakan oleh para Ulama dan Sholihun secara turun temurun serta tidak bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Rosulullah SAW, karena Beliau selalu menghidupkan setiap malam-malamNya,bukankah malam ‘ied lebih layak untuk dihidupkan!. Selain argument di atas, beliau menambahkan bahwa ternyata kegiatan ini merupakan Ihyaus Sunnah Al Mayyitah (Menghidupkan kembali kebiasaan baik yang telah punah) yang pahalanya seperti pahala orang Syahid bahkan dalam riwayat lain seperti pahala 70 orang Syahid. “Man ahya sunnati ‘inda fasadi ummati falahu mitslu ajri Syahid” dan diriwayat lain “Mitslu ajri sab’in Syahid”.

Pertama-tama Syekh menjelaskan tata cara Shalat Tasbih. Semuanya hampir sama dengan ritual shalat biasa, bedanya Shalat ini membaca Tasbih (Subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illAllahu wAllahu akbar ) sebanyak 75 kali dalam setiap raka’atnya, 15 kali sebelum membaca Al Fatihah, 10 kali sebelum ruku’, 10 kali sebelum ‘itidal , 10 kali sebelum sujud pertama, 10 kali sebelum duduk diantara dua sujud, 10 kali sebelum sujud ke dua, 10 kali sebelum berdiri. Seusai melakukan Shalat Tasbih empat raka’at dengan dua salam kami melanjutkannya dengan Shalat Qiyamul lail. Kebetulan, Shalat kali ini sekaligus mengkhatamkan Qur’an yang keempat kalinya dalam Bulan Ramadhan, karena sebelumnya kami telah mengkhatamkan tiga kali maka tinggal sisa satu kali, itupun hanya tersisa dua juz akhir karena juz-juz sebelumnya telah dibaca pada shalat Tarawih.

Ritual malam itu terasa sangat berkesan khususnya pada pertengahan dua shalat karena diantara dua shalat diselingi dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid. Serasa takbiran di tanah air. Walau takbirannya sesaat tapi sangat penuh haru. Suasana bertambah haru tatkala melihat bahwa yang merasakan lebaran di kampung orang bukan hanya kami, ada beberapa teman lain yang juga berasal dari berbagai Negara dan benua. Apalagi yang menjadi Imam pada malam itu bukan hanya orang Mesir tapi juga teman-teman dari berbagai Negara dengan latar belakang Madzhab yang berbeda pula, tapi ini semualah yang menambah suasana malam itu semakin seru. Usai Shalat Qiyamul lail, ritual malam itupun ditutup Shalat Witr dengan dua salam.

Selepas Qiyamul lail Masjid kembali sunyi senyap, tak ada Takbiran apalagi takbir keliling. Kami dan para peserta ‘itikafpun akhirnya hanya ikut membantu pengurus masjid merapihkan masjid serta mempersiapkannya untuk esok hari.

Para Mahasiswa Indonesia di Mesir (baca: Masisir) biasanya melaksanakan Shalat ‘Ied di Masjid-masjid dekat Flat mereka masing-masing, baru setelah itu mereka menuju Masjid As Salam yang terletak di Kampung Sepuluh (Hay ‘Asyir). Pelaksanaan shalat ‘Ied di Masjid As Salam biasanya dimulai pukul 08 pagi, karena kami harus menunggu orang Mesir selesai menunaikan Ibadah shalat I’ed mereka, baru setelahnya kita dapat menggungkan Masjid tersebut. Disinilah satu-satunya Masjid di Mesir yang mengadakan Shalat ‘Ied dengan bahasa Indonesia. Seluruh warga Indonesia di Mesirpun tumpah ruah di sana, mulai Duta Besar sampai para Mahasiswa dan Tenaga kerja (TKI). Bagi mereka yang telah melaksanakan Shalat ‘Ied, mereka hanya mendengar Khutbah ‘Ied yang biasanya disampaikan oleh para petinggi Indonesia di Mesir atau Mahasiswa yang sedang menempuh jenjang Magister atau Doktoral . Baru setelahnya kami dapat menyantap hidangan yang disediakan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia), sebuah kotak makanan berisi nasi, lauk pauk , sambal dan buah.

Sebelum menuju Flat masing-masing, kami menyempatkan untuk bersalaman dan bermaaf-maafan dengan kawan dan jajaran Staff KBRI. Sesudah shalat tidak begitu banyak kegiatan yang dilakukan bahkan bisa dibilang kegiatan kembali berjalan seperti biasa, mungkin sebagian kekeluargaan (konsulat) dan almamater mengadakan Halal bi Halal dan ramah tamah yang membuat sebagian kadernya harus mengikuti acara tersebut. Kalau orang Mesir sendiri, tidaklah menjadi suatu kelaziman untuk saling bersilaturahmi, cukup bagi mereka dengan bermaafan dan salaman usai Shalat ‘Ied di Masjid, bahkan kebanyakan mereka menghabiskan hari lebaran di tempat rekreasi dan pemakaman. Dan bagi anak-anak mereka melewati lebaran dengan rekreasi atau bermain petasan.

Inilah Ketupat Mesir, sebuah hidangan lebaran berisi cerita dan kisah dalam melewati ‘Iedul Fitri di Negri para Nabi yang mungkin akan kami jalani beberapa tahun ke depan sampai tiba waktu untuk dapat kembali ke Tanah Air dan merasakan suasana lebaran yang penuh bahagia dan keceriaan. Tapi, biarlah ketupat ini kami nikmati kalaupun tersisa bolehlah ia kami jadikan oleh-oleh dan bahan cerita untuk sanak famili dan handai tolan di Bumi Pertiwi. Wallahu waRosuluHu ‘alam…

Lembah Kelam Cairo, Subuh Lebaran Kedua di Mesir.

* Alhamdulillah tulisan ini dimuat di Website Masisironline.com (sebuah sarana informasi Mahasiswa Indonesia di Mesir).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu