Assalamu'alaikum

Labels

Rabu, 07 Desember 2011

Studi Sanad (Dirosatul Asanid)


Oleh: Faza Abdu Robbih*
Hadis merupakan sumber primer dalam Islam. Ia menempati urutan kedua teratas setelah Al-Quran. Maka tak heran ia juga memiliki peran yang sangat urgen dalam mengkaji dan memahami Islam. Ketika umat Islam tak dapat dipisahkan dari al-Quran maka merekapun tak dapat terlepas dari hadis (sunnah). Keduanya ibarat dua mata uang yang tak dapat dipisahkan. Bila Allah berjanji menjaga Al-Quran maka secara tak langsung Ia juga berjanji menjaga sarana untuk memahaminya, sunnah.
Dalam kajian hadis kita mengenal dua unsur penting yaitu jalur transmisi (sanad) dan isi hadis (matan). Kedua-duanya merupakan dasar pokok dalam hadis. Walau terkadang kajian matan lebih banyak diminati dibanding dengan kajian sanad. Hal ini tak heran karena umat Islam termasuk Indonesia lebih menyukai pemahaman kandungan hadis dibanding dengan sanad. Bisa dibilang hanya mereka yang berkecimpung dalam dunia akademis khususnya para lakon di jurusan tafsir hadislah yang mendalami kajian ini.
Sependek pengetahuan penulis kajian sanad memang tidak segreget kajian matan. Salah satu alasannya karena kerumitannya dan referensi yang memang masih terbilang minim dan “belum sistematis”. Dari sini kami ingin berbagi sepercik ilmu yang kami dapat di universtas tertua (Al-Azhar) khususnya dalam kajian sanad.
Dalam pelajaran studi sanad di Jurusan hadis dan ilmu-ilmunya Fakultas Ushuludin kami menggunakan buku diktat karya salah satu muhaddits di bumi Musa ini, Prof. DR Ridho Zakaria, MA. Dan beliau sendiri yang menjadi dosen dalam mata kuliah ini.
Buku dengan judul Al-irsyad ila kaifiyati dirosat al-isnad (petunjuk metode studi sanad) memiliki tebal sebanyak 434 halaman termasuk daftar isi, daftar pustaka, daftar isi hadis dan daftar tokoh. Dalam bukunya sang penulis membaginya dalam empat bab ditambah dengan pembukaan (muqaddimah), kata pengantar dan penutup (al-khotimah).
Dalam pembukaan, penulis menerangkan bahwa latar belakang penulisan buku ini terinspirasi dari perkataan guru beliau (Prof. DR Abdul Muhdi, MA) dalam sebagian pengajiannya yang menyatakan bahwa memang sudah ada beberapa karangan dalam cara mencari sumber hadis (takhrij), tapi beliau menambahkan bahwa karangan dalam studi sanad tidaklah banyak. Maka ketika pengarang mengajar mata kuliah takhrij dan studi sanad di Arab Saudi beliau mengarang buku dengan judul miftah al-mubtadiin fi takhrij hadis khotam al-nabiyyin. Namun kitab ini ternyata tidak terlalu merambah studi sanad maka akhirnya beliau mencurahkan segala usahanya hingga menghasilkan buku yang sangat “spektakuler” ini.
Ada beberapa catatan yang ingin kami utarakan menyikapi latar belakang beliau dalam mengarang buku ini. Pertama, latar belakang ini mirip dengan latar belakang pembuatan kitab turuk takhrij al-hadis yang dikarang oleh “sang Inspirator”, Prof. DR Abdul Muhdi, MA. Kedua, kitab ini telah diakui “ketangguhannya” oleh muhaddits “terhebat” di Mesir saat ini, Prof. DR Ahmad Ma’bad, MA dan beberapa ulama terkemuka lainnya termasuk DR Usamah Sayyid Al-Azhari. Dan sependek yang kami rasakan, kitab ini memang bertujuan untuk membuat para pengkaji hadis lebih merasakan nikmat dan manisnya studi sanad, lebih dari mempelajari takhrij hadis saja. Dan hal itu tak akan terealisasi ketika keduanya digabung menjadi satu mata kuliah (studi sanad digabung dalam takhij hadis). Ketiga, mata kuliah studi sanad sendiri baru terpisah dengan mata kuliah takhrij hadis sejak tiga tahunan yang lalu, tepatnya ketika Prof. DR Ahmad Thoyib menjadi Rektor Universitas Al-Azhar.
Selanjtunya, dalam kata pengantarnya beliau menjelaskan urgensi sanad dalam Islam dengan mengutip kata-kata emas dari beberapa ulama. Dalam menjelaskan urgensi sanad beliau menyatakan bahwa studi sanad merupakan sarana yang menyampaikan seseorang untuk memetik hasil dalam kajian hadis. Beliau juga mengungkapkan bahwa sanad merupakan kekhususan umat Islam. Hal in bisa dibuktikan dengan keterputusan sanad pada yahudi yang berjarak lebih dari 1500 tahun dan sanad nasroni yang dipenuhi oleh para perawi pendusta. Beliau juga menyantumkan perkataan Ibnu al-Mubarok yang sangat fenomenal “al-isnad min al-din, wa lalula al-isnad laqola man syaa ma syaa ” (sanad adalah termasuk agama, seandainya ia tidak ada maka setiap orang akan berkata sekehendaknya saja).
Dalam bab pertama beliau menjelaskan tentang cara membedakan perawi yang disebutkan dalam sanad, biografinya dan kitab yang dapat membantu dalam pembahasan ini. Bab ini beliau bagi menjadi tujuh pasal. Pertama, cara menjelaskan biografi perawi secara global. Kedua, mengetahui sifat dan tanda pengenal yang bermacam-macam dalam satu perawi. Ketiga, mengetahui al-mutalif dan al-mukhtalif. Keempat, mengetahui al-muttafaq dan al-muftaroq. Kelima, cara membedakan perawi yang tidak jelas (muhmal). Keenam, kitab-kitab yang membantu dalam mencari biografi perawi. Ketujuh, sebab fakum (tawaqquf) pada sebagian biografi perawi.
Adapun bab kedua pengarang menerangkan urutan jarh wa ta’dil (pujian dan celaan), pinyikapan ketika terjadi pertentangan dalam jarh wa ta’dil. Didalamnya beliau memulai dengan pembukaan seputar jarh wa ta’dil, apakah diperbolehkan atau tidak dalam Islam. Lalu ia menyebutkan tujuh pasal didalamnya. Pertama, urutan jarh wa ta’dil menurut Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Sholah. Kedua, urutan jarh wa ta’dil menurut al-Dzahabi. Ketiga, urutan jarh wa ta’dil menurut Al-‘Iroki. Keempat, urutan jarh wa ta’dil menurut Ibnu Hajar. Kelima, urutan jarh wa ta’dil menurut al-Sakhowi. Keenam, urutan jarh wa ta’dil yang disimpulkan dari para imam yang telah disebutkan. Ketujuh, penentuan ketika terjadi pertentangan dalam jarh wa ta’dil. Dan dalam pasal terakhir ini ia bagi dalam tiga pemabahasan. Pembahasan pertama, penentuan ketika terjadi pertentangan dalam jarh wa ta’dil dari beberapa imam pada satu perawi. Kedua, penentuan ketika terjadi dalam jarh wa ta’dil dari satu imam pada satu perawi. Ketiga, cara menyimpulkan penentuan pada perawi yang diperselisihkan dalam jarh dan ta’dilnya.
Pada bab ketiga pengarang kitab ini menjelaskan hukum riwayat perawi yang mukhtalit (bercampur hafalannya), perawi mudallis, dan mubtadi’. Beliau membagi bab ini dalam tiga pasal. Pasal pertama, hukum riwayat perawi yang mukhtalit. Dan dalam pasal ini terdapat dua pembahasan. Pertama, hukum riwayat perawi yang mukhtalit secara umum. Kedua, hukum riwayat perawi yang mukhtalit khusus dalam shohihain (shohih Bukhori dan Muslim) atau salah satunya.
Pasal kedua tentang hukum riwayat perawi mudallis. Dan didalamnya terdapat dua pemabahasan. Pembahsan pertama, hukum riwayat perawi yang mudallis secara umum. Dalam pembahasan ini pengarang menginsyaratkan lima poin penting. Poin pertama, para mudallis dimana mereka tidak meriwayatakan ‘an’anah kecuali dari para perawi yang tsiqoh maka riwayat ‘an’anah mereka dianggap seperti mendengar langsung sekalipun mereka meriwayatkan dengan ‘an’anah. Kedua, para mudallis yang dibarengi oleh hal lain dalam sanad. Ketiga, riwayat perawi dari seorang mudallis jika ia tidak meriwayatkan kecuali dari apa yang ia dengar dari gurunya yang mudallis saja. Keempat, riwayat mudallis dari sebagian gurunya dari orang yang kebanyakan dari mereka riwayatnya bersambung. Kelima, hukum sanad mu’an’an. Adapun pembahasan Kedua, hukum riwayat perawi yang mudallis dan ‘an’anah khusus dalam shohihain (shohih Bukhori dan Muslim).
Pasal ketiga tentang hukum riwayat ahli bid’ah (mubtadi’). Dan didalamnya ada dua pembahasan. Pertama, hukum riwayat hukum riwayat mubtadi’ dengan bid’ah yang membuat kafir. Kedua, hukum riwayat mubtadi’ dengan bid’ah yang membuat fasik.
Pada bab keempat pengarang membahas tentang penguatan hadis (al-‘itibar) dengan mutaba’at dan syawahid. Dan dalam bab ini terdapat lima pasal. Pertama, definisi penguatan hadis (al-itibar) dengan mutab’aat dan syawahid beserta bagian-bagiannya. Kedua, keadaan mutabi’ dan contoh-contohnya. Ketiga, contoh penguatan hadis dengan jalur (sanad) yang lain. Keempat, naiknya hadis hasan li dzatihi menjadi shohih li ghorihi. Dan kelima, apakah hadis dhoif dapat naik menjadi hadis hasan li ghoirihi?
Dipenutup kitab ini pengarang memberikan beberapa poin penting yang harus diperhatikan. Dinataranya adalah sisi kelebihan buku ini berupa penggabungan antara metode dan teori dengan praktek beserta contoh-contoh ditambah dengan adanaya referensi-referensi primer yang dapat dijadikan bahan rujukan bagi mereka yang ingin lebih dalam mengkaji sanad.
Dipenghujung kalimatnya pengarang menyebutkan empat poin penting dalam mengkaji sanad. Pertama, seorang pengkaji sanad harus membedakan perawi yang disebutkan dalam sanad, baik dari segi kesamaannya dalam nama dan julukan (laqob) atau kesamaan antara namanya, bapak dan kakeknya dan keserupaan antara penyebutan namanya dan nama-nama lain yang mirip dengannya. Ketika ia sudah dapat membedakannya maka langkah selanjutnya adalah bagaimana ia meringkas biografi perawi, apa saja yang harus ditulis dalam biografinya dan apa yang tidak ditulis, dan kitab apa saja yang banyak memuat ini semua.
Yang kedua adalah cara meringkas suatu penghukuman terhadap perawi yang diperselisihkan, menyebutkan standar jarh wa ta’dil yang digunakan oleh para imam, dan cara menyikapi penentuan jarh wa ta’dil ketika bertentangan baik dari satu imam terhadap satu perawi atau dari berbagai imam terhadap satu perawi.
Kemudian yang ketiga adalah penentuan perawi yang tsiqoh namun ia dituduh ikhtilat, tadlis atau mubtadi’, apakah tuduhan itu berpengaruh terhadap periwayatannya atau tidak? Dan yang terakhir (keempat) seseorang pengkaji tidak dapat menghukumi suatu hadis menjadi shohih atau tidak kecuali jika ia telah mencari penguat dari hadis itu (I’tibar) baik berupa syawahid atau mutabaát, karena ia dapat merubah hukum terhadap sebuah hadis bahkan ia dapat mengangkat sebuah hadis dari dhoif menjadi hasan atau shohih. Ketika kita sudah mencari penguat terhadap hadis tersebut maka kita dapat menghukuminya dengan catatan tetap berhati-hati dan mengikuti metode para ulama terdahulu menurut kebiasaan mereka walau tidak harus selamanya. Hal ini karena kita tidaklah ada apa-apanya dibanding mereka. Lalu luruskan niat, mohonlah perlindungan Allah dan berdoalah pada-Nya agar Ia memberimu kebenaran dalam menghukumi hadis tersebut.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat sedikit memberi pencerahan dan kemanfaatan bagi penulis khususnya dan bagi para pengkaji hadis umunya, apalagi melihat kondisi dan ruh kajian hadis yang sedang menggeliat di kalangan umat Islam belakangan ini hingga membuat umat Islam semakin masif dalam mengkaji dan mengamalkan sabda Rosulullah SAW. Wala haula wala kuwwata illa billah, wallahul mustaán wa ‘alaihi tuklan, wa shollallahu ála sayyidina Muhammad wa ála alihi wa shohbihi wa sallim.
Istana Rindu-lembah Juang Kairo, Ásyuro 1433 H

* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hadis dan ilmu-ilmunya Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar Kairo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu