Assalamu'alaikum

Labels

Sabtu, 05 November 2011

Pendekar Bermata Cahaya





Kekurangan tidak menjadi alasan untuk meraih seluruh cita dan angan-angan. Sekiranya kalimat itu yang aku peroleh pada akhir tahun lalu. Sebuah pelajaran hidup dan realita nyata yang aku rasakan di penghujung tahun keduaku.
Tuhan selalu memberi anugerah terbaik pada para hamba-Nya. Namun perbedaan anugerah yang diberikan kadang disikapi kurang bijak oleh beberapa “oknum”. ”kekurangan” yang dirasakan selalu menjadi alasan untuk mengeluh dan mengibakan diri pada orang lain. Padahal sadarkah kita bahwa kenikmatan dan anugerah yang Tuhan berikan lebih banyak dibanding kekurangan yang kita rasakan.
Di bumi Musa ini aku menyaksikan sendiri bagaimana sebuah kekurangan tak menjadi panghalang dan aral rintang dalam mencapai kesuksekan yang menjadi hak oleh individu, bukan hanya mereka yang diberi kenikmatan sempurna namun bagi mereke yang ”minus” juga mendapatkannya.

Awal ketakjubanku bermula sejak dua setengah tahun lalu. Pada masa awal keberadaanku di tanah Firaun ini ku dapati seorang imam dengan lancar melantunkan ayat-ayat Quran bahkan sangat jauh lebih baik dibanding diriku yang diberikan kesempuranaan tubuh. Ia mengimami sholat tanpa membaca mushaf (ternyata dia seorang hafidz). Subhanallah, alangkah besar anugrah Tuhan yang ia dapatkan. Setelah beberapa tahun selanjutnya ternyata kejadian ini tak menjadi sesuatu yang “wah” lagi karena memang disini tak sulit kita temukan. Ia tidak Allah anugerahkan kenikmatan memandang dunia yang fana, na
mun ia mendaptkan kenikmatan yang lebih besar berupa kenikmatan membaca dan menghafal firman Tuhan yang aakn menjadi teman sejatinya sampai dunia kekal nanti. Fabiayyi ala I Rabbikuma tukadziban.
Beberapa bulan selanjutnya ku temukan sebuah semangat luar biasa walau dengan keterbatasan yang ada pada dirinya. Sebut saja namanya Muhammad. Namanya pendek -orang Arab lebih memilih nama-nama pendek agar mempermudah mereka untuk menghafal jalur keturunannya, tak jarang dari mereka yang dapat mengahafal sepuluh keturunan nenek moyangnya bahkan lebih- namun semangatnya namun semngatnya selalu menjadi api yang membakar orang di sekitarnya. Tulisan tentang amu Muhamma dapat dibaca di http://lembarasa.blogspot.com/2010/10/tabahnya-sang-ammu_15.html.
Hal lebih menarik terjadi ketika perkuliahan sudah dimulai. Pertemuanku dengan salah seorang teman sebut saja Khudori (karena aku lupa siapa nama aslinya, maklum kebanyakan ngafal, PD.com, hehe) semakin menambah rasa syukurku pada Ilahi. Tahukah anda dia termasuk salah satu teman tuna nutra di kelasku. Rumahnya berada di kabupaten al-Fayyum, sebuah daerah yang ditempuh sekitar 2-3 jam dari Kairo. Khudori ternyata tidak tinggal di asrama Univeritas yang disediakan namun ia rela menempuh perjalanan PP (pulang pergi) setiap harinya.
Aku bertanya tentang prosesnya menuju kampus, ia menceritakan bahwa ia melangkahkan kaki bermodal kepercayaan bahwa banyak orang-orang yang masih memiliki kepedulian dan kesadaran sosial di Mesir. Hal ini memang aku saksikan sendiri, kepedulian ini terlihat jelas pada kendaraan-kendaraan umum yang menyerankan pemberian tempat duduk untuk para mereka membutuhkan dan lansia.
Ia juga menceritakan cara belajar dan ujiannya. Di kelas ia biasanya hanya menjadi pendengar karena tidak mungkin membaca. Di luar kelas baru ia minta beberapa orang yang mau membacakan buku diktat. Sebelum ujian biasanya ada yang menjual beberapa rekaman dosen untuk mereka yang satu nasib dengan Khudori. Dalam mengerjakan ujian ia harus meyewa juru tulis yang tidak mengerti agama seperti para buruh dan petani atau orang lain agar ia murni menjawab pertanyaan ujian. Seorang buruh tulis biasanya dibayar 200-300 pound Mesir (sekitar 350.000an). Namun hebatnya, dari sekitar ratusan teman sekelasku ternyata hanya dua orang yang dapat meraih nilai istimewa (Imtiyaz), dan itu diraih oleh mereka para tuna netra.
Memang ada beberapa hal unik yang aku kagumi dari Al-Azhar, diantaranya kehebatan para dosen dalam menyampaikan pelajaran, termasuk mereka yang tuna netra. Seorang dosen Falsafat dan aliran pemikiran (Prof. DR. Jamal Afifi, MA) menjadi salah dosen favoritku. Walau tak sepenuhnya aku senang pelajaran ini namun berkat metode penyampaian beliau membuatku sedikit tertarik untuk dapat menjadi sepertinya. Materi yang begitu rumit (bagiku) dengan buku diktat yang kadang tak jelas akan membuat mahasiswa menyerah sebelum berperang, namun penjelasannya yang sangat mantap dan kematangan ilmunya membuat para mahasiswa seperti hidup ditengah-tengah para pemikir dan failusuf.
Satu lagi dosen super (menurutku) seorang ketua jurusan akidah dan filsafat di fakultas kami, Prof. DR Thoha Hubaisyi, MA. Orangnya tegas namun sangat ramah khususnya terhadap para pelajar asing. Statusnya sebagai Kajur (ketua jurusan) sudah dapat menggambarkan keilmuannya. Karena tak mudah untuk mencapai posisi di universitas tertua, sumber dan kiblat ilmu. Sebenarnya masih sangat banyak dosen-dosen hebat yang ternyata tuna netra dan tak jarang mereka menjadi rujukan para dosen-dosen lainnya. Allah memang tidak memberikan mereka penglihatan nyata namun kejenihan hati mereka membuat mereka dapat menembus sesuatu yang tak dijangkau oleh manusia sempurna. Merekalah para pendekar bermata cahaya. Allahu yahfdzuhum wa yaráhum..
Wallahu wa Rosuluhu álam.
Istana Rindu-Lembah Juang Kairo, hari Arofah 1432 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu