Assalamu'alaikum

Labels

Jumat, 15 Oktober 2010

Tabahnya Sang Ammu


Ammu Muhammad, ku temukan semangat pantang menyerah dipagi buta.

Subuh itu ku langkahkan kaki menembus dinginnya kota Cairo. Adzan subuh memang sudah mendayu-dayu. Seruan Tuhan itu sudah terdengar sangat kencang memanggil para hamba-Nya. Sebagian manusia masih terbaring diatas kasur empuk dan menutup tubuhnya dengan selimut tebal.

Ku mulai memasuki Masjid, ternyata suasananya sudah mulai ramai. Para jama'ah mulai berdatangan untuk menunaikan ibadah yang pahalanya lebih baik dibanding dunia dan seluruh isinya. Selain karena nilai pahala yang besar, masyarakat Cairo memang sangat antusias dalam melaksanakan ibadah ini, ditambah kebiasaan mereka yang suka begadang (khususnya di musim panas), maka tak heran kalau sering kita dapati Masjid yang jama'ahnya tetap banyak walau pada shalat subuh.


Terdengar suara Tahiyyat Akhir dari pojok Masjid. Ternyata seorang lelaki energik sedang khusyu' melakukan Shalat. Namanya Muhammad, kami memanggilnya Ammu Muhammad. Sebuah panggilan Mesir kepada orang yang sebaya atau lebih tua dari kita. Sekilas memang Sang Ammu tak berbeda dengan para jama'ah lainnya, tapi ketika mulai berjalanan maka perbedaan itu mulai terlihat. Matanya sudah tak dapat melihat dengan normal kembali. Entah apa penyebabnya, yang jelas pandangan License Fakultas Syariah Wal Qanun ini sudah non aktif.

Kekurangan ini tak serta merta menjadikan Sang Ammu pasrah begitu saja dan diam menunggu ajal menjemput. Ia tetap menunjukkan kapasitasnya sebagai hamba yang baik pada Tuhannya. Tunanetra tak menghalanginya untuk dapat meraup berkahnya Shalat Subuh. Tak jarang ia nekat pergi ke Masjid seorang diri. Sebagai seorang Azhari ia sangat paham bagaimana melaksanakan kewajiban pada Tuhannya. Hal ini yang kadang membuat kami miris, bagaimana perjuangan Sang Ammu untuk tetap melaksanakan ibadah dengan segala kekurangan yang ia miliki, tapi disisi lain para Muslim terlihat pulas dalam tidur mereka dan bermalas-malasan ibadah. Tidakkah mereka sadar bahwa kenikmatan yang mereka rasakan seharusnya memacu mereka untuk terus bersyukur pada Sang Khaliq.

Tak pernah ia absent dalam shalat berjama'ah di Masjid. Pada bulan Ramadhan lantunan ayat Al Qurannya juga sering terdengar sampai ke Flat kami yang berjarak empat meter dari rumahnya. Usai shalat aku langsung menuntun Ammu menuju rumahnya yang kebetulan satu arah dengan Flatku. Anehnya Sang Ammu sudah sangat hafal jalan pulang menuju rumahnya, bahkan sampai gang-gang dan toko-toko yang berada disepanjang jalan ke rumahnya.

***
Ammu Sayyid, Baba penyabar, taat ibadah, penyayang hewan dan Wafidin.

Ku bawa Mushaf saku dan beberapa alat tulis di kantong kresek. Subuh itu ku harus segera menuju Masjid Ja'fariyah untuk setor hafalan. Terdengar suara tongkat menusuri tangga Flat. Ternyata Ammu Sayyid sedang tertatih-tatih menapaki tangga. Setiap subuh biasanya ia selalu berangkat ke Masjid Sayyida Husein ra (cucu Rasulullah SAW) yang berada dekat Flat kami. Ia sangat rajin berziarah ke Sayyidina Husein ra lalu setelahnya ia ikut bersama para jama'ah lain menyantap Ma'idatul Qur'an. Sebuah halaqah Qur'an yang diadakan sebagian Masjid untuk menggiatkan baca Al Quran khusunya bagi mereka yang belum bisa membaca. Setiap jama'ah secara bergantian membaca Al Quran dengan dibimbing seorang yang dianggap sudah mumpuni. Kegiatan ini berjalan lepas Shalat Subuh sampai jam tujuh pagi.

Kami memanggilnya Baba, sapaan orang Mesir pada ayah mereka. Ia memang bukanlah siapa-siapa lagi bagi kami. Pemilik flat sekaligus orang tua kami di perantauan ini. Kedekatan kami padanya memang sudah seperti orang tua dengan anaknya. Ia dan istrinya (Mama Hannan) sudah kami anggap seperti orang tua sendiri. Perhatian mereka pada kami seperti perhatian pada anak kandung mereka.

Suatu saat terdengar kabar bahwa Baba baru saja diamputasi. Di Mesir tak sedikit orang yang diamputasi, selain karena tenaga Dokter yang kami nilai terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan mengeriakan itu, pola hidup disini juga sangat tidak teratur. Kebiasaan begadang sudah menjadi tradisi turun temurun, ditambah faktor keturunan dan hoby mereka minum Shay (Teh). Tak tanggung-tanggung, dalam sehari mereka bisa minum teh lebih dari sepuluh kali. Apalagi teh yang mereka buat sangat kental hingga mendorong mereka untuk mengkonsumsi gula yang banyak pula. Temanku pernah bertanya pada tetangganya berapa banyak konsumsi gula mereka dalam sebulan, jawabannya sangat mencegangkan, 10 kg lebih.

Kami berinisiatif tuk berkunjung ke Flat Baba yang berada tepat di bawah Flat kami. Mendapat kunjungan kami mereka terlihat sangat welcome. Kami tanyakan keadaan Baba yang baru diamputasi, ia hanya menjawab bahwa semua yang ada di dunia ini sudah ada yang mengatur dan mengurus, jadi buat apa kita harus mengeluh dan berputus asa, nikmati saja hidup ini, sebuah jawaban ringan tapi sangat berisi. Setelah berbincang-bincang dan bertukar cerita kamipun pamit. Diakhir, kami ungkapkan bahwa mulai saat ini kami sudah menjadi anak mereka dan mereka sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri. Mendengar ungkapan itu mata Baba terlihat merah dan tanpa terasa mengucurkan air mata. Mungkin kata-kata ini sedikit menyentuh hatinya. Tergambar olehnya bagaimana para anak muda yang harus berjuang demi mengais gundukan ilmu di Negri Seribu Menara ini.

Selain penyabar beliau juga sangat penyayang. Bukan hanya pada manusia tapi juga kepada para hewan. Pernah suatu saat ku melihat Sang Ammu membawa drigen (Tempat air), ku beranikan bertanya untuk apa ia membawa itu, bibiranya terseyum sambil menjawab singkat, Uttoh (Kucing). Oh, rupanya Sang Ammu ingin memberi minum pada hewan, caranya ia isi setiap tempat yang sengaja dibuat untuk memberi minum para kucing, mulai yang berbahan semen, botol plastik yang sudah dipotong, hingga bahan-bahan bekas lainnya. Biasanya para hewan sangat membutuhkan minum khususnya pada musim panas yang terkadang mencapai titik 42 celcius.

***
Ammu Husein, mengais rezeki di masa tua dengan bermodal setrika kuno.

Usai setoran di Syekh Asyrof ku segera pulang agar lebih cepat ngampus. Ku langkahkan kaki sambil mengulang hafalan yang baru disetor. Beberapa meter sebelum sampai di Flat, ku lihat Ammu Husein sudah Stand by di "kantornya", sebuah raungan kecil berukuran 2,5X2 meter. Ditemani senjata andalannya (Setrika besi kuno) ia setia menunggu pelanggan yang datang. Di Cairo, pemandangan ini terlihat aneh, pasalnya pada jam-jam ini orang Mesir masih terkapar di "pulau kapuknya" dan di usia enam puluhan ini tak sedikit dari mereka yang hanya mennyandarkan hidup dari pemberian orang lain.

Seperti biasa Sang Ammu memberi senyumnya padaku seolah ia hidup bahagia tanpa beban. Persaingan ekonomi di Ibu kota dan semakin mahalnya biaya hidup tak membuatnya harus mengeluh, apalagi mengharap belas kasih orang lain. Sambil bergurau iapun meminta satu pound padaku, memang ada sebagian orang Mesir yang suka meminta-minta uang pada Wafidin (Para Pendatang) atau kebiasaan sebagian orang yang menngemis belas kasih orang. Sepertinya anti deh kata mengemis dalam kamus hidup Sang Ammu. Ia tetap terus berjuang walau bemodal setrika kuno.

Kadang ku berfikir, apa keistimewaan setrika besi itu, bukankah produk setrika zaman ini sudah sangat canggih, belum lagi bisnis Dry Cleaning dan Laundri sudah berjamuran dimana-mana. Mungkin itulah satu-satunya keahlian yang dimiliki Sang Ammu. Walau ia harus menunggu dari seharian lebih (jam setengah tujuh sampai isya), yang penting baginya hidup dengan hasil keringat sendiri.

Tak banyak income yang ia dapatkan dari usahanya itu. Perhari mungkin hanya 10-20 pound. Biasanya ia mengharapkan wanita-wanita yang sibuk atau malas mengerjakan pekerjaan rumahnya atau kiriman dari Sallah (keranjang yang biasa digunakan untuk memberi dan mengambil barang di Aparetement). Melihat perjuangan Sang Ammu seolah setrika tuanya menggosok semangatku tuk terus berjuang dan pantang menyerah. Mutasyakir Awi Ya Ammu…

Lembar Juang Cairo, Dhuha 15 Oktober 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu