Assalamu'alaikum

Labels

Selasa, 07 Agustus 2012

Fenomena Hadis Bermasalah di Bulan Berkah

Bulan Romadhon kembali menyapa kita. Para umat Islam kian berlomba-lomba meraih berkah dan pahala. Mulai dari pejabat, orang awam, selebritis dan artis begitu juga dengan para da’i dan ustadz dan ustadzah. Seakan semua tak mau kalah untuk bersaing memeriahkan dan menyambut bulan “primadona”.

Bulan ini adalah bulan transit tuk mengisi “bahan bakar” iman dan takwa yang mulai lemah dan menurun setelah menempuh perjalanan sebelas bulan lamanya. Tak ayal, disini lah tugas dan peran para da’i dan ustadz terbuka.  Tak jarang bulan ini juga mejadi lapak dan objek besar-besaran bagi para penyebar ilmu ilahi ini.

Walau kita perlu berbangga dengan apresiasi besar umat Islam –termasuk para dai- dalam menyambut bulan ini namun masih ada hal yang disayangkan terjadi didalamnya. Selain menjadi ladang ibadah ternyata bulan ini juga masih menjadi ladang subur tuk menyebarkan hadis-hadis bermasalah. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi sebenarnya.

Disadari atau tidak bulan ini sudah masih menjadi sarang tersebarnya hadis-hadis bermasalah. Dengan dalih fadhoil ‘amal sebagian oknum melegitimasi usaha mereka dalam menyebarkan hadis bermasalah. Padahal ada batas-batas tertentu dalam penggunaan hadis termasuk dalam masalah targhib dan fadhoil a’mal.

Sebelum kita lebih jauh masuk dalam pembahasan ini ada baiknya kita mengenal dulu apa yang yang kami maksud dengan hadis bermasalah tersebut. Bukankah Imam Athoillah telah memperingatkan kita bahwa tujuan akhir yang tepat amat tergantung pada permulaan yang benar pula (man asyroqot bidayatuhu asyroqot nihayatuhu). So, pemahaman awal yang salah akan berakibat pada kerancuan pada maksud akhir.

Dalam mendefiniskan Hadis Palsu Seputar Romadhon guru kami (Prof. DR. KH. Ali Musthofa Yakub,MA) dalam bukunya Hadis-hadis Bermasalah Seputar Romadhon menyatakan bahwa ia adalah hadis terkait Romadhan yang masuk beberapa kategori yaitu; hadis maudhu’ (palsu), sebuah riwayat yang sebetulnya bukan hadis namun dianggap sebagai hadis, hadis yang tidak diketahui sumbernya atau hadis yang kualitas perawinya lemah sekali (baik karena fasik atau buruk hafalannya).   

Setelah mengetahui definisi hadis ini ternyata kita masih mempunyai pertanyaan mengganjal lainnya, apa hukum meriwayatkan hadis ini? Bolehkah ia digunakan? Apakah kita masih dapat menggunakannya dalam fadhoil amal? Menjawab pertanyaan ini, guru kami yang juga Khodim Ma’had Darusunnah menyatakan bahwa tidak boleh meriwayatkan hadis ini kecuali untuk tujuan memberitahukan kebermasalah “hadis” itu. Adapun orang yang memang sudah mengetahui kondisi “hadis” itu sebagai hadis bermasalah namun tetap menyampaikan maka ia termasuk meyebarkan kebohongan. Sebagaimana hadis nabi Saw:

من كذب علي متعمدا فلیتبوأ مقعده من النار )رواه البخاري(، مَنْ حَدَّثَ عَنِّي حَدِيثًا وَھُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَھُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَیْنِ (رواه ابن ماجه).

Sebagian orang mungkin masih bertanya-tanya, samakah antara hadis dhoif (lemah) dan hadis bermasalah? Bukankah hadis-hadis yang termasuk kategori bermasalah tadi -seperti hadis maudhu, hadis yang rowinya sangat lemah- juga termasuk hadis dhoif?

Secara dzhohir hadis dhoif memang hadis bermasalah. Namun yang menjadi titik pisah keduanya adalah hadis dhoif masih ada kemungkinan untuk naik kelas dan meningkat kualitasnya menjadi hasan li gharihi bila substansinya juga diriwayatkan dengan sanad lain dan kedhaifannya bukan karena rawinya pendusta atau fasik. Adapun hadis dhoif yang kedhaifannya karena perawinya pendusta atau fasik maka ia tidak akan meningkat kualitasnya. Hadis dhoif seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (argument) dengan alas an apapun termasuk fadhoil a‘mal atau stimulant (targhib). Ia sudah tak bisa digunakan sama sekali -meminjam istilah guru kami- narmihi fi zubalah (kita buang saja ke tong sampah).       

Ketika kita sudah mengetahui hadis bermasalah, ada beberapa hal yang harus kita ketahui dan lakukan, diantaranya; kita tidak boleh menyandarkan argument dan amaliah kita terhadap isi “hadis” tersebut. Apalagi “hadis” tersebut masih “remang-remang” dalam artian kita masih belum bisa memastikan otentisitas dan kemurniannya bersumber dari Rosulullah Saw. Selanjutnya bila kita ditanya dan tidak tahu kualitas suatu hadis maka tugas kita adalah memberitahu si penanya kepada yang lebih tahu dan memahami persoalan ini. Dengan begitu kita akan terbebas dari dosa menyesatkan orang lain bahkan kita malah mendapat pahala membantu orang. Atau bila memang kita tidak tahu sama sekali minimal jujut dengan ketidaktahuan kita bukan malah berlaku sok tahu dan jaga image. Dan inilah yang sering guru kami ingatkan dan mulai langka di zaman ini, ilmu la adri (mengatakan tidak tahu bila kita ditanya dan tidak tahu jawabannya).

Syeikh Abdullah Muhammad Al-Hammadi (Penasihat Kementrian Urusan Agama dan Wakaf Uni Emirat Arab) dalam bukunya Tahdzir al-Khollan min riwayat al-ahadits adh-dhoifah haula Romadhon telah berhasil mencantumkan 115 hadis. Namun pada tulisan yang singkat ini kami hanya mencantumkan beberapa hadis saja yang kami anggap sangat “populer” di masyarakat. Bagi mereka yang ingin lebih memperdalam kajian ini dapat merujuk kedua referensi yang telah kami sebutkan di atas, baik yang berbahasa Indonesia atau Arab. Atau boleh juga ditambah dengan Ghoyatu al-Ihsan fi fadhli zakat al-fitr wa fadhli Romadhon dan Shohih sifat Shiyam Nabi Saw karya dua kakek guru kami, Syeikh Abdullah Siddik Al-Ghumari dan Syeikh Hasan Ali As-Saqqof.


Ramadhan diawali rahmat  
Sejak awal bulan ini hingga akhir para penceramah tak bosan-bosannya mendengungkan “hadis” yang satu ini. Seakan tak pernah sulut, ia selalu terngiang-ngiang ditiap sepuluh hari bulan Romadhon. Tanpa penuh rasa takut sang Muballigh berkoar:
أول شھر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وأخره عتق من النار.
Awal Ramadan itu beroleh rahmat, tengahnya berisi ampunan dan akhirnya terbebas dari siksa neraka.

Mari kita simak komentar para pakar mengenai “hadis” ini. Imam Suyuthi mengatakan dhoif, Syeikh Al-Albani meyebutnya munkar. Penulis kitab Tahdzir sendiri berkonklusi dhoif jiddan atau munkar. Yang menjadi “biang penyakit” dalam hadis tadi ada dua; Salam bin Sawwar yang dinilai munkar al-hadits dan Maslamah bin Al-Shalt yang matruk.

Tidak makan sebelum lapar            
“Hadis” ini sangat familiar bagi kami, maklum saat di pondok kata-kata ini ditulis besar sekali di depan dapur umum. Tak tahu apa tujuannya, yang jelas kami selalu berdalih dengan “hadis” ini ketika sedang makan satu nampan. Apalagi ketika keuangan sedang kering dan ada teman yang minta ditraktir kami langsung keluarkan “kartu As” dengan berkata:   

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع.
Kita ini sekelompok orang yang tak pernah makan sebelum lapar. Ketika kita makan, kita berhenti sebelum kenyang.

Andai Imam Suyuthi bisa datang ke pondokku maka ia akan komentar sambil mengkritik bahwa itu bukan hadis lho, itu adalah sebuah ungkapan hikmah seorang dokter (tabib) dari Sudan. Syeikh Nawawi Al-Bantani juga ikut berkomentar bahwa itu ia hanya sebuah riwayat bukan hadis.   

Ramadhan setahun penuh  
Hadis bermasalah seakan tak henti-hentinya menjadi hidangan Muslim Indonesia bahkan menjelang penghujung Romadhon para jamaah masih saja disuguhi “menu” aneh ini. Sambil memegang erat mikrofon dan jari telunjuk yang berdiri sang penceramah berkata:
لو تعلم أمتي ما في رمضان لتمنوا أن تكون السنة كلھا رمضان.
Seandainya umatku tahu keistimewaan bulan Romadhan, tentu mereka akan berharap setahun penuh menjadi Ramadan.

Ibnu Jauzi memasukkannya dalam kitab Al-Maudhu’at. Imam Syuyuthi juga ikut mengomentari (ta’qib) “hadis” tersebut dalam kitabnya Al-La’ai al-masnu’ah fi al-hadits al-maudhua’ah. Adapun sumber masalah dalam “hadis” di atas terdapat pada rawi Jarir bin Ayyub al-Bajali yang masuk dalam kategori matruk dan munkar dan Hayyaj bin Bustam yang matruk.

Tidur orang puasa ibadah
Puasa memang ibadah yang butuh perjuangan besar hingga membuat kita lemah dan lemas. Salah satu dalil yang sering digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab adalah dengan bersandar pada “hadis” ini;
نوم الصائم عبادة وصمته تسبیح وعمله مضاعف ودعائه مستجاب وذنبه مغفور.
Tidurnya seorang yang berpuasa itu bernilai ibadah, diamnya menjadi tasbih, amalnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.
Mendengar ini para krtiktikus hadis tak tinggal diam. Imam Suyuthi langsung menghukumi hadis ini dhoif. Disusul oleh Imam Baihaqi yang menyatakan dhoif jiddan (parah) dan Imam Al-Iraqi yang mengeluarkan statemen maudhu’. 

Ramadhan  tergantung zakat fitrah                       
Kalau “hadis” yang satu ini biasanya sering aku dengar di akhir bulan ini. Seperti biasa para panitia zakat fitrah selalu sigap dan tanggap tuk mencari para donator zakat. Tak segan-segan mereka juga mengeluarkan senjata andalannya dengan berkata lantang di speaker masjid;
شھر رمضان معلق بین السماء والأرض ولا يرفع إلى الله إلا بزكاة الفطر.
“Pahala Bulan Ramadan tergantung antara langit dan bumi. Pahala itu baru akan diangkat ke hadirat Allah setelah dibayarkan zakat fitrah.”

Ada baiknya kita simak tanggapan nuqqod al-hadits dalam menyikapi “hadis” ini. Imam Al-Suyuthi menilainya dhaif sedangkan Imam Ibn Al-Jauzi lebih “garang” dengan menilainya hadis palsu. Sumber masalahnya terdapat pada rowi Muhammad bin Ubaid Al-Bashr yang tidak dikenal identitasnya dan Abdurrahman bin Utsman dimana hadisnya ditolak Ahmad bin Hanbal.

Puasa itu menyehatkan
Pertama kali mendengar “hadis” ini Romadahon enam tahun yang lalu. Waktu itu yang menyampaikan kultum -kebetulan- bukanlah seorang ustadz namun pak satpam yang termasuk sesepuh daerah itu. Sambil tersenyum sang bapak memasukan dalil yang ia anggap hadis Rosulullah Saw;
 صوموا تصحوا  (“Berpuasa itu menyehatkan”).
Usai mendengarkan kultum itu banyak teman-teman yang menjadikannya lelucon dan bahan tertawa, tak jelas motif mereka, apakah karena sang penceramah yang “unik” atau memang ada masalah dengan argument yang ia guanakan.  Tak hanya pak satpam itu yang menggunakannya, ternyata dalil ini juga sering digunakan para asatidz, muballigh dan penceramah. Dari situ awalnya aku percaya bahwa itu mungkin hadis nabi.

Pak Kiai Ali yang juga Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta akhirnya memutus kebuntuanku terhadap “hadis” ini. Beliau menyebutkan beberapa komentar para ulama terhadap “hadis” tersebut. Imam Al-Iraqi, Al-Uqaili dan Al-Thabrani dengan kompak menyatakan bahwa hadis itu munkar.

Doa agar bisa berjumpa Romadhon                       
Meriah kegembiraan Romadhon sudah didengungkan sejak jauh-jauh hari. Bahkan sejak dua bulan sebelumnya (Rajab) umat Islam sudah distimulus dengan doa yang katanya berasal dari nabi;            
اللھم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان.
“Ya Allah, berkahi kami di bulan Rajab dan Syakban. Pertemukan kami dengan bulan Ramadan.”

Benarkah kalimat itu merupakah hadis nabi? Mari kita simak komentar para “punggawa” kritik hadis. Ibnu Hibban mengatakan perawinya banyak yang mungkar. Adapun Al-Nasa’i dan Ibnu Hajar hanya berkata munkarul hadits. Dan terakhir kita simak komentar Imam Al-Hamadi; dhaif jiddan.

Doa berbuka             
“Hadis” lain yang tak kalah populernya dan setiap hari dilakukan para shoimin untuk mengakhiri ibadah sehari penuh dengan berdoa seraya menengadahkan tangan ke langit. Seakan mereka sudah yakin bahwa inilah doa dari nabi;
كان النبي صلى الله علی وسلم إذا أفطر قال: اللھم لك صمت وعلى رزقك أفطرت.
Nabi saw. saat berbuka berdoa, “Ya Allah, untuk-Mu kami berpuasa dan atas berkah rezeki-Mu kami bisa berbuka.
Seandainya mereka bertanya dahulu dengan “dewan pakar” dalam masalah ini mereka pasti akan yakin apakah ini benar-benar hadis nabi atau bukan. Al-Hamadi cukup berkata dhaif (termasuk hadis-hadis yang beredaksi sejenis). Ibnu Abi Hatim menambahkan bahwa faktor kebermasalahannya adalah Muadz bin Zahrah yang dinilai sebagai perawi hadis mursal. Sedangkan Imam Nawawi menilai haditsnya mursal. Dan terakhir Abu Hatim berujar dhaiful hadits.

Senang dengan kehadiran Romadhan
“Hadis” ini termasuk salah satu stimulan para da’i yang sudah sangat mengakar di masyarakat. Bisa dibilang ia tak pernah absen dalam pidato menjelang dan awal Romadhon. Termasuk di kalangan santri. Dengan semangat yang tinggi dan berapi-api sang santri berdiri di atas mimbar sambil berucap bahwa Rosulullah bersabda; “siapa saja yang senang dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya bagi neraka.”

مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّیْرَانِ. 
Ketika sang santri mulai mencoba menelaah hadis di atas ternyata ia termasuk yang dikoleksi kitab Durratun Nashihin, dimana kita ini banyak mencakup hadis-hadis palsu (dan ia telah menjadi bahan disertasi guru kami, DR Luthfi Fathullah, MA). Ditambah lagi bahwa para ulama ternyata tidak mengetahui sanad dan rujukannya. Maka tak layak kiranya kalau kita menjustise perkataan tadi sebagai sebuah hadis namun ternyata ia tak mempunyai rujukan yang jelas bahkan ada pada kitab yang tak sedikit memuat hadis-hadis bermasalah.

Menyikapi fenomena menjamur dan tersebarnya hadis-hadis maudhu’ dan bermasalah di masyarakat (termasuk pada bulan Romdhon), guru kami DR Musthofa Abu Khoir (Dosen hadis dan ilmu hadis pada Fakultas Ushuludhin Universitas Al-Azhar Kairo) menawarkan beberapa alternatif untuk mengurangi, menghilangkan atau hanya sebagai tindakan prefentif terhadap tersebarnya hadis-hadis “bahaya” ini.
Sedikitnya ada lima alternatif yang beliau tawarkan. Pertama, memilih para da’i yang pantas untuk menyampaikan dakwah, karena misi dakwah tidak bisa disampaikan oleh sembarang orang namun ia butuh kapabilitas ilmu agama yang mumpuni. Kedua, mentakhrij hadis sebelum berkhutbah dan ceramah. Dengan ini seorang muballigh akan merasa mantap dan yakin dengan apa yang disampaikan. Ia juga bisa mempertanggung jawabkan argumen dan hadis-hadis yang ia gunakan. Alternatif ketiga adalah dengan mentahkik dan mentakhrij kembali buku-buku dan perkataan yang masyhur di masyarakat khususnya yang masih “abu-abu”.
Alternatif selanjutnya adalah dengan menyertakan sanad hadis dan buku rujukan hadis tersebut, minimal dengan menyebutkan rawi sahabatnya dan nama kitab hingga para jama’ah dapat merujuk atau lebih yakin dengan hadis tersebut. Dan alternatif  terakhir yang beliau tawarkan adalah tidak menyebarkan hadis-hadis yang bermasalah kecuali untuk menjelaskan “kerusakannya”. Allahu wa rosuluhu ‘alam.     

Istana Rindu-Lembah Juang Kairo, 18 Romadhon 1433 H.

Alhamdulillah tulisan ini dimuat di buletin ASHALA (buletin Senat Mahasiswa Indonesia Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar Kairo).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu