Bulan Romadhon kembali
menyapa kita. Para umat Islam kian berlomba-lomba meraih berkah dan pahala.
Mulai dari pejabat, orang awam, selebritis dan artis begitu juga dengan para
da’i dan ustadz dan ustadzah. Seakan semua tak mau kalah untuk bersaing
memeriahkan dan menyambut bulan “primadona”.
Bulan ini adalah bulan
transit tuk mengisi “bahan bakar” iman dan takwa yang mulai lemah dan menurun
setelah menempuh perjalanan sebelas bulan lamanya. Tak ayal, disini lah tugas
dan peran para da’i dan ustadz terbuka. Tak
jarang bulan ini juga mejadi lapak dan objek besar-besaran bagi para penyebar
ilmu ilahi ini.
Walau kita perlu
berbangga dengan apresiasi besar umat Islam –termasuk para dai- dalam menyambut
bulan ini namun masih ada hal yang disayangkan terjadi didalamnya. Selain
menjadi ladang ibadah ternyata bulan ini juga masih menjadi ladang subur tuk
menyebarkan hadis-hadis bermasalah. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi
sebenarnya.
Disadari atau tidak bulan
ini sudah masih menjadi sarang tersebarnya hadis-hadis bermasalah. Dengan dalih
fadhoil ‘amal sebagian oknum melegitimasi usaha mereka dalam menyebarkan
hadis bermasalah. Padahal ada batas-batas tertentu dalam penggunaan hadis
termasuk dalam masalah targhib dan fadhoil a’mal.
Sebelum kita lebih jauh
masuk dalam pembahasan ini ada baiknya kita mengenal dulu apa yang yang kami
maksud dengan hadis bermasalah tersebut. Bukankah Imam Athoillah telah
memperingatkan kita bahwa tujuan akhir yang tepat amat tergantung pada
permulaan yang benar pula (man asyroqot bidayatuhu asyroqot nihayatuhu).
So, pemahaman awal yang salah akan berakibat pada kerancuan pada maksud akhir.
Dalam mendefiniskan Hadis
Palsu Seputar Romadhon guru kami (Prof. DR. KH. Ali Musthofa Yakub,MA) dalam
bukunya Hadis-hadis Bermasalah Seputar Romadhon menyatakan bahwa ia adalah
hadis terkait Romadhan yang masuk beberapa kategori yaitu; hadis maudhu’ (palsu),
sebuah riwayat yang sebetulnya bukan hadis namun dianggap sebagai hadis, hadis
yang tidak diketahui sumbernya atau hadis yang kualitas perawinya lemah sekali
(baik karena fasik atau buruk hafalannya).
Setelah mengetahui
definisi hadis ini ternyata kita masih mempunyai pertanyaan mengganjal lainnya,
apa hukum meriwayatkan hadis ini? Bolehkah ia digunakan? Apakah kita masih dapat
menggunakannya dalam fadhoil amal? Menjawab pertanyaan ini, guru kami
yang juga Khodim Ma’had Darusunnah menyatakan bahwa tidak boleh
meriwayatkan hadis ini kecuali untuk tujuan memberitahukan kebermasalah “hadis”
itu. Adapun orang yang memang sudah mengetahui
kondisi “hadis” itu sebagai hadis bermasalah namun tetap menyampaikan maka ia
termasuk meyebarkan kebohongan. Sebagaimana hadis nabi Saw:
من كذب علي متعمدا فلیتبوأ مقعده من النار
)رواه البخاري(،
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي حَدِيثًا وَھُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَھُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَیْنِ (رواه ابن ماجه).
Sebagian
orang mungkin masih bertanya-tanya, samakah antara hadis dhoif (lemah)
dan hadis bermasalah? Bukankah hadis-hadis yang termasuk kategori bermasalah
tadi -seperti hadis maudhu, hadis yang rowinya sangat lemah- juga
termasuk hadis dhoif?
Secara
dzhohir hadis dhoif memang hadis bermasalah. Namun yang menjadi titik
pisah keduanya adalah hadis dhoif masih ada kemungkinan untuk naik kelas
dan meningkat kualitasnya menjadi hasan li gharihi bila substansinya
juga diriwayatkan dengan sanad lain dan kedhaifannya bukan karena rawinya
pendusta atau fasik. Adapun hadis dhoif yang kedhaifannya karena
perawinya pendusta atau fasik maka ia tidak akan meningkat kualitasnya. Hadis dhoif
seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (argument) dengan alas an
apapun termasuk fadhoil a‘mal atau stimulant (targhib). Ia sudah tak
bisa digunakan sama sekali -meminjam istilah guru kami- narmihi fi zubalah
(kita buang saja ke tong sampah).
Ketika kita
sudah mengetahui hadis bermasalah, ada beberapa hal yang harus kita ketahui dan
lakukan, diantaranya; kita tidak boleh menyandarkan argument dan amaliah kita
terhadap isi “hadis” tersebut. Apalagi “hadis” tersebut masih “remang-remang”
dalam artian kita masih belum bisa memastikan otentisitas dan kemurniannya
bersumber dari Rosulullah Saw. Selanjutnya bila kita ditanya dan tidak tahu
kualitas suatu hadis maka tugas kita adalah memberitahu si penanya kepada yang
lebih tahu dan memahami persoalan ini. Dengan begitu kita akan terbebas dari
dosa menyesatkan orang lain bahkan kita malah mendapat pahala membantu orang.
Atau bila memang kita tidak tahu sama sekali minimal jujut dengan ketidaktahuan
kita bukan malah berlaku sok tahu dan jaga image. Dan inilah yang sering guru
kami ingatkan dan mulai langka di zaman ini, ilmu la adri (mengatakan
tidak tahu bila kita ditanya dan tidak tahu jawabannya).
Syeikh Abdullah
Muhammad Al-Hammadi (Penasihat Kementrian Urusan Agama dan Wakaf Uni Emirat
Arab) dalam bukunya Tahdzir al-Khollan min riwayat al-ahadits adh-dhoifah
haula Romadhon telah berhasil mencantumkan 115 hadis. Namun pada tulisan
yang singkat ini kami hanya mencantumkan beberapa hadis saja yang kami anggap
sangat “populer” di masyarakat. Bagi mereka yang ingin lebih memperdalam kajian
ini dapat merujuk kedua referensi yang telah kami sebutkan di atas, baik yang
berbahasa Indonesia atau Arab. Atau boleh juga ditambah dengan Ghoyatu
al-Ihsan fi fadhli zakat al-fitr wa fadhli Romadhon dan
Shohih sifat Shiyam Nabi Saw karya dua kakek guru kami, Syeikh Abdullah
Siddik Al-Ghumari dan Syeikh Hasan Ali As-Saqqof.
Ramadhan
diawali rahmat
Sejak awal bulan ini hingga akhir para penceramah tak bosan-bosannya mendengungkan “hadis” yang satu ini. Seakan tak pernah sulut, ia selalu terngiang-ngiang ditiap sepuluh hari bulan Romadhon. Tanpa penuh rasa takut sang Muballigh berkoar:
Sejak awal bulan ini hingga akhir para penceramah tak bosan-bosannya mendengungkan “hadis” yang satu ini. Seakan tak pernah sulut, ia selalu terngiang-ngiang ditiap sepuluh hari bulan Romadhon. Tanpa penuh rasa takut sang Muballigh berkoar:
أول شھر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وأخره عتق من النار.
“Awal
Ramadan itu beroleh rahmat,
tengahnya berisi ampunan dan akhirnya terbebas dari siksa neraka.”
Mari kita
simak komentar para pakar mengenai “hadis” ini. Imam Suyuthi mengatakan dhoif,
Syeikh Al-Albani meyebutnya munkar. Penulis kitab Tahdzir sendiri
berkonklusi dhoif jiddan atau munkar. Yang menjadi “biang
penyakit” dalam hadis tadi ada dua; Salam bin Sawwar yang dinilai munkar al-hadits dan Maslamah bin Al-Shalt yang matruk.
Tidak makan
sebelum lapar
“Hadis” ini sangat familiar bagi kami, maklum saat di pondok kata-kata ini ditulis besar sekali di depan dapur umum. Tak tahu apa tujuannya, yang jelas kami selalu berdalih dengan “hadis” ini ketika sedang makan satu nampan. Apalagi ketika keuangan sedang kering dan ada teman yang minta ditraktir kami langsung keluarkan “kartu As” dengan berkata:
“Hadis” ini sangat familiar bagi kami, maklum saat di pondok kata-kata ini ditulis besar sekali di depan dapur umum. Tak tahu apa tujuannya, yang jelas kami selalu berdalih dengan “hadis” ini ketika sedang makan satu nampan. Apalagi ketika keuangan sedang kering dan ada teman yang minta ditraktir kami langsung keluarkan “kartu As” dengan berkata:
نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع.
“Kita
ini sekelompok orang yang tak pernah makan sebelum lapar. Ketika kita makan,
kita berhenti sebelum kenyang.”
Andai Imam
Suyuthi bisa datang ke pondokku maka ia akan komentar sambil mengkritik bahwa
itu bukan hadis lho, itu adalah sebuah ungkapan hikmah seorang dokter (tabib)
dari Sudan. Syeikh Nawawi Al-Bantani juga ikut berkomentar bahwa itu ia hanya
sebuah riwayat bukan hadis.
Ramadhan
setahun penuh
Hadis bermasalah seakan tak henti-hentinya menjadi hidangan Muslim Indonesia bahkan menjelang penghujung Romadhon para jamaah masih saja disuguhi “menu” aneh ini. Sambil memegang erat mikrofon dan jari telunjuk yang berdiri sang penceramah berkata:
Hadis bermasalah seakan tak henti-hentinya menjadi hidangan Muslim Indonesia bahkan menjelang penghujung Romadhon para jamaah masih saja disuguhi “menu” aneh ini. Sambil memegang erat mikrofon dan jari telunjuk yang berdiri sang penceramah berkata:
لو تعلم أمتي ما في رمضان لتمنوا أن تكون السنة كلھا رمضان.
“Seandainya
umatku tahu keistimewaan bulan Romadhan, tentu mereka akan berharap setahun penuh
menjadi Ramadan.”
Ibnu Jauzi
memasukkannya dalam kitab Al-Maudhu’at. Imam Syuyuthi juga ikut mengomentari
(ta’qib) “hadis” tersebut dalam kitabnya Al-La’ai al-masnu’ah fi al-hadits
al-maudhua’ah. Adapun sumber masalah dalam “hadis” di atas terdapat pada
rawi Jarir bin Ayyub al-Bajali yang masuk dalam kategori matruk dan munkar dan Hayyaj
bin Bustam yang matruk.
Tidur orang
puasa ibadah
Puasa
memang ibadah yang butuh perjuangan besar hingga membuat kita lemah dan lemas.
Salah satu dalil yang sering digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab
adalah dengan bersandar pada “hadis” ini;
نوم الصائم عبادة وصمته تسبیح وعمله مضاعف ودعائه مستجاب وذنبه مغفور.
“ Tidurnya
seorang yang berpuasa itu bernilai ibadah, diamnya menjadi tasbih, amalnya dilipatgandakan,
doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.”
Mendengar
ini para krtiktikus hadis tak tinggal diam. Imam Suyuthi langsung menghukumi
hadis ini dhoif. Disusul oleh Imam Baihaqi yang menyatakan dhoif jiddan
(parah) dan Imam Al-Iraqi yang mengeluarkan statemen maudhu’.
Ramadhan tergantung zakat fitrah
Kalau “hadis” yang satu ini biasanya sering aku dengar di akhir bulan ini. Seperti biasa para panitia zakat fitrah selalu sigap dan tanggap tuk mencari para donator zakat. Tak segan-segan mereka juga mengeluarkan senjata andalannya dengan berkata lantang di speaker masjid;
Kalau “hadis” yang satu ini biasanya sering aku dengar di akhir bulan ini. Seperti biasa para panitia zakat fitrah selalu sigap dan tanggap tuk mencari para donator zakat. Tak segan-segan mereka juga mengeluarkan senjata andalannya dengan berkata lantang di speaker masjid;
شھر رمضان معلق بین السماء والأرض ولا يرفع إلى الله إلا بزكاة الفطر.
“Pahala
Bulan Ramadan tergantung antara langit dan bumi. Pahala itu baru akan diangkat
ke hadirat Allah setelah dibayarkan zakat fitrah.”
Ada baiknya
kita simak tanggapan nuqqod al-hadits dalam menyikapi “hadis” ini. Imam
Al-Suyuthi menilainya dhaif sedangkan Imam Ibn Al-Jauzi lebih “garang”
dengan menilainya hadis palsu. Sumber masalahnya terdapat pada rowi Muhammad bin Ubaid Al-Bashr yang tidak dikenal identitasnya
dan Abdurrahman bin Utsman dimana hadisnya ditolak Ahmad bin Hanbal.
Puasa itu
menyehatkan
Pertama kali mendengar
“hadis” ini Romadahon enam tahun yang lalu. Waktu itu yang menyampaikan kultum
-kebetulan- bukanlah seorang ustadz namun pak satpam yang termasuk sesepuh daerah
itu. Sambil tersenyum sang bapak memasukan dalil yang ia anggap hadis
Rosulullah Saw;
صوموا تصحوا (“Berpuasa itu menyehatkan”).
Usai mendengarkan kultum
itu banyak teman-teman yang menjadikannya lelucon dan bahan tertawa, tak jelas
motif mereka, apakah karena sang penceramah yang “unik” atau memang ada masalah
dengan argument yang ia guanakan. Tak
hanya pak satpam itu yang menggunakannya, ternyata dalil ini juga sering digunakan
para asatidz, muballigh dan penceramah. Dari situ awalnya aku percaya
bahwa itu mungkin hadis nabi.
Pak Kiai
Ali yang juga Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta akhirnya memutus kebuntuanku
terhadap “hadis” ini. Beliau menyebutkan beberapa komentar para ulama terhadap
“hadis” tersebut. Imam Al-Iraqi, Al-Uqaili dan Al-Thabrani dengan kompak
menyatakan bahwa hadis itu munkar.
Doa agar
bisa berjumpa Romadhon
Meriah kegembiraan Romadhon sudah didengungkan sejak jauh-jauh hari. Bahkan sejak dua bulan sebelumnya (Rajab) umat Islam sudah distimulus dengan doa yang katanya berasal dari nabi;
Meriah kegembiraan Romadhon sudah didengungkan sejak jauh-jauh hari. Bahkan sejak dua bulan sebelumnya (Rajab) umat Islam sudah distimulus dengan doa yang katanya berasal dari nabi;
اللھم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان.
“Ya Allah,
berkahi kami di bulan Rajab dan Syakban. Pertemukan kami dengan bulan Ramadan.”
Benarkah
kalimat itu merupakah hadis nabi? Mari kita simak komentar para “punggawa”
kritik hadis. Ibnu Hibban mengatakan perawinya
banyak yang mungkar. Adapun Al-Nasa’i dan Ibnu Hajar hanya berkata munkarul
hadits. Dan terakhir kita simak komentar Imam Al-Hamadi; dhaif jiddan.
Doa berbuka
“Hadis” lain yang tak kalah populernya dan setiap hari dilakukan para shoimin untuk mengakhiri ibadah sehari penuh dengan berdoa seraya menengadahkan tangan ke langit. Seakan mereka sudah yakin bahwa inilah doa dari nabi;
“Hadis” lain yang tak kalah populernya dan setiap hari dilakukan para shoimin untuk mengakhiri ibadah sehari penuh dengan berdoa seraya menengadahkan tangan ke langit. Seakan mereka sudah yakin bahwa inilah doa dari nabi;
كان النبي صلى الله علی وسلم إذا أفطر قال: اللھم لك صمت وعلى رزقك أفطرت.
Nabi saw. saat berbuka berdoa,
“Ya Allah, untuk-Mu kami berpuasa dan atas berkah rezeki-Mu kami bisa berbuka.”
Seandainya
mereka bertanya dahulu dengan “dewan pakar” dalam masalah ini mereka pasti akan
yakin apakah ini benar-benar hadis nabi atau bukan. Al-Hamadi cukup berkata dhaif (termasuk hadis-hadis
yang beredaksi sejenis). Ibnu Abi Hatim menambahkan bahwa faktor kebermasalahannya
adalah Muadz bin Zahrah yang dinilai sebagai perawi hadis mursal. Sedangkan Imam Nawawi menilai haditsnya mursal. Dan
terakhir Abu Hatim berujar dhaiful hadits.
Senang
dengan kehadiran Romadhan
“Hadis” ini
termasuk salah satu stimulan para da’i yang sudah sangat mengakar di
masyarakat. Bisa dibilang ia tak pernah absen dalam pidato menjelang dan awal
Romadhon. Termasuk di kalangan santri. Dengan semangat yang tinggi dan berapi-api
sang santri berdiri di atas mimbar sambil berucap bahwa Rosulullah bersabda; “siapa
saja yang senang dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan
jasadnya bagi neraka.”
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّیْرَانِ.
Ketika sang
santri mulai mencoba menelaah hadis di atas ternyata ia termasuk yang dikoleksi
kitab Durratun Nashihin, dimana kita ini banyak mencakup hadis-hadis palsu (dan
ia telah menjadi bahan disertasi guru kami, DR Luthfi Fathullah, MA). Ditambah
lagi bahwa para ulama ternyata tidak mengetahui sanad dan rujukannya. Maka tak
layak kiranya kalau kita menjustise perkataan tadi sebagai sebuah hadis namun
ternyata ia tak mempunyai rujukan yang jelas bahkan ada pada kitab yang tak
sedikit memuat hadis-hadis bermasalah.
Menyikapi fenomena menjamur dan tersebarnya hadis-hadis maudhu’
dan bermasalah di masyarakat (termasuk pada bulan Romdhon), guru kami DR
Musthofa Abu Khoir (Dosen hadis dan ilmu hadis pada Fakultas Ushuludhin
Universitas Al-Azhar Kairo) menawarkan beberapa alternatif untuk mengurangi, menghilangkan
atau hanya sebagai tindakan prefentif terhadap tersebarnya hadis-hadis “bahaya”
ini.
Sedikitnya ada lima alternatif yang beliau tawarkan. Pertama,
memilih para da’i yang pantas untuk menyampaikan dakwah, karena misi
dakwah tidak bisa disampaikan oleh sembarang orang namun ia butuh kapabilitas
ilmu agama yang mumpuni. Kedua, mentakhrij hadis sebelum berkhutbah
dan ceramah. Dengan ini seorang muballigh akan merasa mantap dan yakin dengan
apa yang disampaikan. Ia juga bisa mempertanggung jawabkan argumen dan
hadis-hadis yang ia gunakan. Alternatif ketiga adalah dengan mentahkik
dan mentakhrij kembali buku-buku dan perkataan yang masyhur di
masyarakat khususnya yang masih “abu-abu”.
Alternatif
selanjutnya adalah dengan menyertakan sanad hadis dan buku rujukan hadis
tersebut, minimal dengan menyebutkan rawi sahabatnya dan nama kitab hingga para
jama’ah dapat merujuk atau lebih yakin dengan hadis tersebut. Dan
alternatif terakhir yang beliau tawarkan
adalah tidak menyebarkan hadis-hadis yang bermasalah kecuali untuk menjelaskan
“kerusakannya”. Allahu wa rosuluhu ‘alam.
Istana
Rindu-Lembah Juang Kairo, 18 Romadhon 1433 H.
Alhamdulillah tulisan ini dimuat di buletin ASHALA (buletin Senat Mahasiswa Indonesia Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar Kairo).
Alhamdulillah tulisan ini dimuat di buletin ASHALA (buletin Senat Mahasiswa Indonesia Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar Kairo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar