Assalamu'alaikum

Labels

Senin, 16 Agustus 2010

Si Shofi dan Si Kadir




Pagi itu terlihat cerah, kicauan burung bersautan mendayu berbarengan dengan tiupan angin sepoi-sepoi, diikuti laskar dedaunan yang berjatuhan. Sang matahari sambil tersipu malu mulai memancarkan cahayanya. Semua seakan tak pernah bosan dan jemu menghadapi hari cerah yang penuh keberkahan.
Tak beberapa lama terdengar derasan suara, "kress…kress...kress". Ternyata Si Shofi juga tak mau kalah. Ya, Shofi "Sang Air Mengalir" ikut meramaikan aktivitas pagi itu. Ia memulai pergerakannya yang mengalir santai tapi pasti, yang berawal dari gunung Pongkor nan hijau jauh di sana. Seperti biasa, ia melakukan aktifitas rutin hariannya. Lapak pertama yang ia singgahi adalah daerah pertanian dan perkebunan. Ia mulai membantu kincir air untuk menyuplai air ke sawah-sawah pertanian dan ladang-ladang para petani. Bisa dibilang Shofilah harapan terbesar bagi para pertani dalam masalah irigasi, karena selain dari air hujan yang mengguyur daerah Cigudeg, mereka sepenuhnya bergantung pada Shofi. Hal ini maklum kiranya, selain karena ekonomi minim yang mereka miliki ternyata shofi adalah pekerja ikhlas yang dengan cuma-cuma memberikan jasanya bagi para petani Cigudeg.
Setelah melalui sawah dan ladang, iapun segera melintasi terjal yang curam. Di sana memang terdapat banyak air terjun yang berterjal curam. Gunung pongkor sangat terkenal dengan terjal curamnya. Tak jarang ia disambangi para Pecinta alam untuk melaksanakan ekspedisi mereka. Perjalanan kali ini ternyata tak berjalan mulus. Ada batu besar yang sudah menantinya. Makhluk hitam itu mulai menghalangi laju Shofi.

"Haruskah perjalananku terhenti di sini," gumamnya.
Ia terus berpikir dan mencari cara untuk dapat lolos dari makhluk berpostur raksasa itu. Tanpa kenal lelah ia mulai menggempur, berusaha untuk lepas dari hadangan makhluk kasar itu. Ternyata usahanya sia-sia, batu itu belum menyingkir dari hadapannya. Melihat hal itu ternyata Shofi tak pantang menyerah, ia berusaha mendobrak, menggempur dan mencurahkan seluruh tenaga yang ia miliki. Satu, dua, dan tiga sampai berkali-kali ternyata ia tak dapat merobohkan kokohnya pertahanan batu besar itu. Kesabaran dan ketekunan Shofi mulai diuji, apakah ia akan begitu saja menyerah atau akan terus berjuang untuk benar-benar menjadi pahlawan. Otaknya terus berputar sambil terus mendobrak pertahanan batu itu. Tring, akhirnya ia menemukan titik terang, ternyata ia menemukan cela kecil dibawah batu. Memang ukuran celah tidak muat untuk seluruh tubuhnya, tapi ternyata ia punya keyakinan dan tekad besar untuk melewatinya. Ia mulai memasuki celah itu secara perlahan sambil berhati-hati agar tubuhnya dapat lewat dengan utuh seluruhnya.
"Alhamdulillah, akhirnya kutaklukan juga makhluk hitam kelam itu," ucapnya senang karena dapat lolos dari batu besar.
Iapun melanjutkan perjalanannya. Tibalah ia pada selokan-selokan rumah Kampung Cise`eng. Ia mulai menjalankan aktifitas selanjutnya untuk terus berjalan sambil memberikan manfaat pada orang lain sebanyak-banyaknya. Banyak sampah yang menghambat selokan itu rupanya, satu lagi hadangan datang, si Shofipun tak dapat menjalankan tugas dengan begitu mudah sebagaimana biasanya. Ia harus membawa muatan sampah yang di buang oleh orang-orang Cise`eng, sebuah kecamatan yang terletak di kaki Gunung Pongkor.
Beban sampah yang harus ia pikul pagi itu ternyata tak menghalanginya untuk terus bergerak melanjutkan perjalanannya hari ini. Berjalan dan terus berjalan, selokan-selokan yang sempit harus membuatnya berjibaku lebih keras. Selain beban berat yang harus ia pikul, ternyata iapun harus menghadapi bau-bau yang sangat menyengat, bahkan kadang kulitnya yang putih mengkilatpun harus ternoda. Tak berhenti di situ, rasanya pun sudah berubah.
"Wah, tak mudah rupanya perjalanan hari ini," ucapnya sebal.
Dengan semua tantangan yang ia temui ternyata tak membuatnya diam berpangku tangan, bahkan semua itu menambah semangatnya untuk bekerja lebih keras dan berbuat lebih agar dapat memberi manfaat kepada masyarakat.
Perjalananpun dilanjutkan, dari selokan-selokan sempit yang kotor, bau dan sesak, ia mulai menuju kali-kali kecil di Desa Sadeng. Sebuah desa kecil yang padat penduduk. Hampir setiap hari mereka membuang sampah di sungai Cikaniki.
"Wah muatan baru lagi nih," pikirnya dalam hati.
Memang biasanya masyarakat Sadeng sangat menggantugkan kebutuhan sehari-harinya pada anak sungai Cikaniki ini. Semua kebutuhan air dipasok dari anak sungai yang lebarnya sekitar tiga meteran ini, mulai dari kebutuhan untuk mencuci, masak, mandi, bahkan sampai pembuangan limbah manusia kadang dibawanya. Selang berapa saat, iapun membenarkan dugaannya. Limbah manusia itupun menjadi barang muatan yang harus ia pikul menuju tempat pengembaraan berikutnya.
Perjalanan ia lanjutkan, tibalah ia pada Pesantren Manarotul Jannah. Terlihat seluruh santri sangat gembira sekali dapat mondok di Pesantren sederhana ini. Walau berukuran setengah hektar dan berfasilitas seadanya, mereka sangat merasakan kenyamanan dan kebahagiaan tak terkira. Ditambah lagi dengan adanya Sungai Cikaniki yang selalu mengalir dibawahnya.
"Serasa di Surga," cetus salah satu santri yang baru saja mengaji ayat terakhir Surat Al Bayyinah, "Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah Syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai".
Para santri sangat senang dapat berenang di sungai Cikaniki dan bersahabat dengan Shofi. Bahkan inipun menjadi salah satu daya tarik Pondok bagi para santri baru.
Shofi mulai meneruskan perjalananya. Tak beberapa lama ia mendengar suara Kiai Syarmusyekh yang sedang menasehati santrinya: "Taharrok fainna fil harokah alfu barokah (Bergeraklah karena dalam pergerakan itu terdapat banyak keberkahan). Sambil tersenyum senang ia mulai menjauh dari Pondok Syurga ini.
"Senang rasanya bisa berbagi ceria dengan para santri sambil memberi sedikit pasokan air untuk Pondok" cetus Shofi dalam hati sambil terus menggerakkan langkahnya menjauhi pondok.
Setelah beberapa saat kemudian, tibalah ia di muara Sungai Cisadane, muara yang mempertemukan seluruh sungai-sungai di daerah JABODETABEK (Jakarta Bogor Depok Tanggerang Bekasi). Di sana ia mulai melepas beban yang ia bawa selama perjalanannya.
"Lega rasanya bisa melepas semua beban ini" ungkapnya dengan penuh ceria.
Ia mulai menuju tempat penyulingan untuk mensterilkan seluruh tubuhnya. Sesaat kemudian, muncullah Si Shofi dengan penampilan barunya, air putih jernih yang siap didistribusikan ke rumah-rumah penduduk. Iapun mulai digunakan untuk seluruh aktifitas penduduk di sekitar JABODETABEK. Mulai untuk berwudhu, mandi, mencuci, masak, dan minum. Sekarang ia sudah berubah menjadi air yang suci dan mensucikan. Wajahnya berseri tanda kepuasannya karena dapat bermanfaat untuk umat, walau ia harus melewati sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan.
Perjalanan ia lanjutkan sampai di Kedoya. Di sana ia bertemu saudara lamanya, Kadir. Wajahnya sudah sangat berubah, terlihat hitam pekat, baunya sudah sangat menyengat, dan rasanya sudah tidak layak lagi untuk untuk dicicipi.
" Apa kabar Kadir?" sapanya pada saudara lamanya.
"Kamu Shofi, anak Pak Murtaji ?" tanya Kadir meyakinkan dirinya.
"Ya, kemana aja Bang sudah lama tak kelihatan. Sekarang Abang sudah berubah 180 derajat nih.!" ungkap Shofi keheranan.
"Panjang ceritanya Fi." jawab Kadir.
Iapun mulai menceritakan perjalanannya mulai dari kampung sampai kedatangannya di Kedoya. Ia memang korban hujan lebat yang terjadi beberapa bulan lalu. Ia terbawa sampai akhirnya ia bisa tiba di Kedoya.
"Kalau begitu, ayo kita pulang ke Gunung Pongkor bang..!" ajak Shofi.
"Malas ah, capek kiranya bila aku harus melewati sungai-sungai dan harus membawa kotoran-kotoran, belum lagi batu–batu dan tebing terjal yang siap menghadang perjalananku. Biarlah diriku berdiam disini menikmati kota Kedoya." jawab Kadir lemas.
Shofi melihat sekelilingnya. Tak banyak orang yang melewati daerah itu. Apalagi yang sampai sudi memanfaatkan air seperti Kadir, kotor, bau, sumber penyakit, tercemar dan seribu alasan lainnya. Shofipun teringat nasehat Kiai Syarmusyeh pada para santrinya: " Bergeraklah, karena diam itu mati".
Akhirnya iapun pamit pada Kadir untuk melanjutkan perjalanannya. Tersemat dalam benaknya yang sedang gulau, bagaimana ia dapat memberi manfaat bagi orang lain kalau tidak pernah bergerak, karena menurutnya hidup adalah suatu perjuangan yang tidak bisa digapai hanya dengan berdiam diri dan berpangku tangan.
Bergerak, bergerak dan bergerak…… -o(Zadurfar)o-
Lembah kelam Cairo, 5 Ramadhan 1431 H

* Alhamdulillah tulisan ini dimuat di Website Masisironline.com (sebuah sarana informasi Mahasiswa Indonesia di Mesir).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu