Assalamu'alaikum

Labels

Rabu, 10 November 2010

Rihlah Ruhiyah


Tepat pukul delapan malam kami tiba di flat tercinta. Badan terasa remuk, capekpun sudah menyerang seluruh tubuh. Enaknya langsung istirahat dan tidur. Tapi sebagian teman serumah bertanya keberadaan kami seharian ini. Saya hanya menjawab dengan senyum, akhirnya Faqih (anak baru yang tinggal satu flat denganku) mulai menceritakan perjalanan kami hari ini.

Hari ini adalah Jum’at, hari libur mingguan di Mesir, Hari tuk meluapkan kepenatan dari seluruh aktivitas selama satu minggu. Memang banyak cara dilakukan para Mahasiswa Indonesia di Mesir (baca: Masisir) tuk menghabiskan hari libur ini, ada yang istirahat, olahraga, refreshing, jalan-jalan dan lain-lain. Tapi kami mempunyai cara tersendiri tuk mengisi hari libur ini yaitu dengan Rihlah Ruhiyah.


Rihlah (jalan-jalan) dimulai dari Masjid Sayyidina Husein ra (cucu Rasulullah SAW). jam delapan seluruh temanku telah berkumpul di sana. Kami mulai berziarah dan bertawasul di sana. Salah seorang dari kami memimpin kahfian, tahlil dan doa. Sambil terus khusyu membaca doa dan dzikir ragaku mulai menikmati bagaimana perjuangan Imam Husein ra. Seorang Sayyidu Syuhada (pemimpin para Syahid) ini membuat sebuah Ibrah bagiku bahwa hidup memang harus dihadapi. Resiko dalam hidup memang sebuah kemestian, tapi lari dari realita itulah awal kegagalan.

Perjalanan kembali dilanjutkan, kali ini melewati Hadiqatul Azhar (Taman Al Azhar), benteng Shalahudin Al Ayubi dan Masjid Ali Pasha. Terlihat jalanan ramai, para muda-mudi, orang tua dan anak-anak sangat antusias tuk menikmati hari week end mereka. Hari jum’at tak mengahalangi mereka tuk dapat berbagi ceria sesama keluarga dan sahabat.
Tibalah kami di Masjid Sayyidah Aisyah ra (salah satu keturunan Rasulullah SAW). Mesir memang menjadi salah satu Negara “transit” Ahlul Bait (keturunan Rasul) saat terjadi peristiwa fitnah. Tercatat beberapa makam mereka ada di Kairo diantaranya; Sayyidah Aisyah ra, Sayyidah Zaenab ra, Sukaenah ra, Ruqayyah ra, Ummu Kultsum ra, Nafisah ra dan lain-lain. Beruntung rasanya kami dapat berziarah ke makam para Ahlul bait, sekalipun kami belum dapat berkunjung langsung ke makam Nabi SAW paling tidak kami bisa bertawasul lewat keluarga beliau. Penghormatan orang Mesir terhadap Ahlul Bait memang sangat besar tapi tidaklah berlebihan sebagaimana yang kadang terjadi di Indonesia. Kamipun selalu terngiang pesan Guru kami agar selalu menghormati Ahlul bait karena itu adalah salah satu dari dua wasiat baginda Rasul SAW pada umatnya, Kitabullah wa Ahlu baiti.

Rute selanjutnya adalah Jabal Muqattam (Bukit Muqattam). Terdapat beberapa makam Auliya di sana, Imam Ibnu Atho’illah ra (pengarang kitab Hikam), Ibnu Daqiq al ’Ied ra (salah satu Syarih kitab Arba’in Nawawi), Abu Jamroh ra (pengarang Bahjatun Nufus) dan Imam Syathibie ra (Ulama Qira’at). Berkunjung ke makam Auliya terasa meneduhkan hati. Apalagi makam Ibnu Atho’illah ra, seorang ulama penuh Kharismatik dan Tawadhu, perangai itu dapat terlihat dari salah satu kitab karangannya, Al Hikam Al ‘Athoiyyah. Disanapun kami mampir ke tempat peristirahatan Syaikhul Azhar yang lalu, Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud. Kabarnya, hampir setiap hari beliau selalu berkunjung ke sana pada masa hidupnya.

Kami tak terlalu lalu lama berada di sana karena harus mengahadiri pengajian Jum’atan di Masjid Al Falah. Walau letaknya masih di Jabal Muqattam tapi Kami usahakan untuk dapat Shalat Jum’at di sana. Pasalnya, khutbah Sang Syeikh sangat aktual dan menggugah hingga tak jarang dapat menjadi bekal dan “bensin” semangat kami tuk satu minggu ke depan, Sungguh rugi rasanya bila kami harus melewatinya. Usai Shalat Jum’at beliau mengadakan pengajian dan menerangkan beberapa kitab, Muwattha Imam Malik ra, Al Khasha`is Kubra karya Imam Suyuthi ra dan Al Hikam Al ‘Athoiyyah karya Imam Ibnu ‘Athoillah ra. Beliau adalah dokter spesialis tulang. Selain itu beliau juga seorang Ulama dan Mursyid, hal ini terbilang langka khususnya pada zaman sekarang. Beliaupun tak pernah memisahkan tiga komponen Islam; Syari’at, Thariqat dan Haqiqat, hal itu dapat terlihat dari kitab yang dipelajari. Syariat dengan Kitab Muwatho yang menjelaskan bagaimana tata cara beribadah. Thariqat dengan kitab Al Khashais Al Kubra yang menjelaskan perilaku dan segala hal yang berkaitan dengan Nabi SAW, sebelum kitab ini beliau juga pernah menjelaskan kitab As Syama’il Muhammadiyah karya Imam Tirmidzi ra. Dalam menjelaskan kedua kitab ini tak jarang beliau mengungkap pentingnya adab dan penghormatan pada baginda Nabi SAW, man yuti’ir Rasul faqad ata’a Allah. Dalam kitab ketiga (Al Hikam) beliau dengan sederahana dan gamblang menerangkan bagaimana cara menuju jalan Ilahi sebagaimana yang diajarkan Rasul dan diamalkan oleh para Auliya dan Sholihin. Dengan tenang dan simple beliaupun mengungkap mutiara indah dibalik kata-kata Imam besar Ibnu “Atha’illah ra.

Usai pengajian kami harus meluncur ke lokasi terakhir, Hay Imamain (Kampung dua Imam). Disebut Imamain karena disini terdapat dua makam Ulama besar, Imam Syafi’I ra dan Imam Laits bin Sa’ad ra. Makam pertama tujuan kali ini adalah Imam Waki’ bin Jarah bin Madih ra. Salah seorang guru Imam Syafi’I ra yang terkenal dengan dua bait fenomenal, syakautu ila Waki’ su`a hifdzi. Menghadap makam ini seolah membawa kami pada saat Imam Syafi’I ra “sharing” karena kesulitan menghafal. Beliau yang sangat terkenal jenius saja masih harus menjauhi maksiat apalagi kami. Tak jarang ketika diri ini sudah penuh kotoran maksiat, batinpun serasa mengadu padanya, ia seoalah tersenyum dan memberi wejangan; nurullah ya yuhda lil ‘ashi. Lumayanlah dapat sedikit “sharing” ke Imam Waki’ ra, kaya Imam Syafi’ I gitu deh.
Masjid Imam Syafi’I sudah menuggu kedatangan kami. Sebelum masuk ke Imam kami sowan sebentar di makam Imam Zakaria Al Anshari ra, pengarang kitab Asnal Mathalib. Terlihat para orang tua sedang membaca Qur’an di sekitar makam Imam Zakaria dan Syafi’I ra. Walau bacaan mereka masih banyak yang salah tapi semangat tuk membaca Al Qur’an mereka perlu kami acungkan jempol, bahkan di samping makam Imam Syafi’I ra terdapat Maqra`ah (bimbingan baca Al Qur’an) yang kebanyakan dihadiri oleh orang tua. Setelah membaca Yasin dan berdoa kamipun pulang. Sebelumnya tak lupa kami bertabaruk dengan jejak telapak kaki Rasulullah SAW yang ada di ujung makam.

Ada beberapa makam lagi yang belum kami kunjungi disana, tapi melihat waktu yang tak memungkinkan kamipun langsung pulang. Sebelum ujian biasanya kamipun mengadakan rihlah ruhiyah seperti ini bahkan kami menambah beberapa rute makam di kawasan ini. Makam Sahabat Abu Dzar Al Ghifari ra dan Uqbah bin Rabi’ah ra salah satunya. Kedua makam ini membawa kami serasa hidup pada masa-masa terbaik bersama Rasul SAW. Makam Imam Laits ra merupakan salah satu tempat favorit ziarah kami. Pasalnya makam ini terlihat sangat terawat dan bersih, berbeda dengan beberapa makam lainnya. Tak heran karena makam ini berada dalam tanggungan pemerintah dibawah Kementrian Peninggalan sejarah. Salah satu pelajaran yang dapat kami ambil disini bahwa ilmu tak hanya dapat disalurkan dengan lisan tapi juga tulisan. Bahkan tak jarang dakwah dengan tulisan akan lebih bermanfaat karena dapat dinikmati oleh para generasi selanjutnya walau mereka hidup berabad-abad setelah kita. Makam Selanjutnya Makam Ibnu Hajar Al Asqhalani ra menjadi salah satu tambahan ziarah kami. Walau sekarang tempat ini sudah sangat tak terawat -berbeda dengan Makam Imam Laits bin Sa’ad ra- karena menjadi pasar hewan, pintunya sudah tertutup dan dipantek papan dan bangunannya yang ingin roboh. Satu-satunya yang mencirikan keberadaan makam Syaikhul Islam disini adalah batu nisan kecil yang tertulis namanya. Sebuah ibrah yang berharga dan dapat menjadi “suplemen” ruhiyah yang dahsyat. Sungguh sarat makna. Mengajarkan kita bahwa ketinggian dan kemuliaan seseorang tidak diukur dengan materi duniawi tapi kedudukan disisi Tuhan. Makam Rabi’ah Adawiyah dan Dzunun Al Mishri ra juga tak luput dari kunjungan kami, darinya kami mendapat pelajaran berharga bahwa kesalahan dan kelamnya masa lalu tak menjadi penghalang tuk dapat menuju jalan Ilahi.

The Last Destination, makam Imam Suyuthi ra (salah satu pengarang Tafsir Jalalain). Tempatnya berdekatan dengan tempat penungguan bis. Walau sudah malam tapi suasana makam tak terasa menakutkan, bahkan di kanan kiri jalan terdapat bangunan yang menjadi tempat tinggal beberapa keluarga. Melihat beberapa bangunan yang tersisa di sana jiwaku serasa kembali pada abad 10 hijriyah. Bagaimana masa keemasan Sang Imam yang menguasai beberapa disiplin ilmu dan ‘hampir’ menjadi Mujtahid Mutlak. Dari sana ku teringat pada pesan guruku; Al Khattu yabqa zamanan ba’da shohibihi, wa shohibul khotti tahtal ardi ma`jur. Walau jasadnya telah tertutup tanah tapi karyanya masih terus kita nikmati hingga kini.

Hidup tak selamanya lurus, kadang senang dan kadang gersang. Kalau senang bersyukurlah, kalaupun sedih bersabarlah. Kalau tak cukup dengan itu cobalah kita rehat sejenak, mungkin kita butuh “suplemen” baru tuk dapat menjadikan hidup lebih berarti. Banyak cara sederhana yang bermanfaat dan dapat kita jadikan pemacu. Salah satunya adalah Rihlah Ruhiyah. Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wallahu wa RasuluHu ‘Alam…
Lembah Juang Cairo, Tengah malam 06 November 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Saksi Bisu

Saksi Bisu